Minggu, 27 Januari 2013

Menahan Syahwat Korupsi

Oleh: Ma’ruf Muttaqien
Dunia dan nafsu memang seumpama bayang-bayang, keduanya merupakan kerabat dekat. Saking dekatnya, perselingkuhan mereka dapat melahirkan beragam enigma kehidupan masyarakat kita saat ini.
Mulai dari persoalan dunia hiburan yang lebih senang mengeksploitasi keindahan tubuh wanita, sejumlah konflik dalam pemilukada yang tak jarang memicu konflik, hingga apa yang saat ini dikenal sebagai corruption by greed, atau korupsi yang dilakukan karena adanya sifat keserakahan untuk bisa hidup bermewah-mewahan di kalangan artis maupun pejabat.
Tak salah, jika kemudian nafsu sering diibaratkan dengan air laut, yang apabila diminum tidak menghilangkan dahaga tetapi hanya akan menambah haus. Jadi, manusia tidak akan puas memperturutkan hawa nafsunya. Sedangkan dunia tak ubahnya laksana fatamorgana.
Allah SWT telah menyindir tentang fatamorgana yang kerap menyilaukan manusia ini dalam surah Ali-Imran ayat 14. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”
Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah marah kepada saudaranya Aqil yang memintanya untuk mengambil uang kas negara demi melunasi utang-utangnya. “Saya sebetulnya sangat ingin membantumu, tapi tidak dengan uang kas negara,” kata Ali tegas. 
Aqil tentu saja kecewa dan terus mendesak. Hingga akhirnya Ali pun marah. “Karena engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambil!” 
Aqil terkejut, lalu bertanya, “Mengapa engkau menyuruh aku mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?” 
Ali bin Abi Thalib lantas menjawab, “Lalu, bagaimana bisa engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini?”
Laksana roda pedati, hidup ini akan selalu berputar. Menyusuri irisan demi irisan kesenangan, duka dan lara. Rasa aman, kasih sayang, dan perhatian dari orang lain datang dan pergi seiring bergantinya hari. Itu adalah rahasia kehidupan yang dirajut oleh Allah untuk hambanya di dunia.
Hawa nafsu akan kemewahan dunia hanyalah akan membuat roda pedati enggan berputar kembali, dan rajutan kehidupan hancur tak berpola. Untuk itu, hanya sabar dan shalat tepat waktulah yang akan membuat roda pedati kembali berputar, dan rahasia kehidupan mengungkapkan keindahannya.
Sabar adalah ibu dari segala cita dan keinginan. Sementara shalat tepat waktu adalah rumus untuk dapat menguasai jiwa, hawa nafsu dan pikiran serta menentang syahwat korupsi. Sabar dan shalat tepat waktu adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemilik segala keindahan dan kenikmatan sejati.

Pentingnya Sikap Istiqamah

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Kecerdasan akal merupakan karunia Allah dan modal untuk meraih tujuan dan cita-cita.  
Namun, modal tersebut belum cukup sebab kecerdasan akal harus dilengkapi dengan kecerdasan spiritual dan emosional. 
Betapa banyak sahabat di bangku sekolah dasar hingga kuliah yang hebat kemampuan akalnya, namun ketika terjun di masyarakat dilampaui peranan dan kesuksesannya oleh sahabat-sahabat lain yang pada masa pendidikan biasa-biasa saja.
Akal memerlukan pemeliharaan ketajaman dan kecerdasannya. Pemeliharaan tersebut dilakukan oleh jiwa dengan cara menjaga semangat, ketekunan, keteguhan dan komitmen atau di dalam bahasa agama dengan sikap istiqamah. 
Jika akal istiqamah dengan tujuannya, maka istiqamahlah seluruh anggota badannya, sebaliknya jika akal bengkok maka hilanglah fokus pada tujuan yang dimaksudkannya. 
Islam memandang penting sikap istiqamah setelah seseorang meyakini kebenaran akidah. Allah SWT memerintahkan baginda Rasulullah SAW untuk bersikap istiqamah melalui firman-Nya,  "Maka istiqamahlah engkau (Muhammad) di jalan yang benar..." (QS. Huud: 112). 
Sikap istiqamah juga dipegang teguh oleh para sahabat dalam mempertahankan keimanan mereka, betapa pun ejekan, intimidasi dan penyiksaan terus menimpa. Lihatlah penyiksaan yang dialami oleh Bilal bin Rabah, namun semua bentuk intimidasi dan penyiksaan tersebut sama sekali tidak menggoyahkan keimanannya.
 Kita (kaum muslimin) juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk beristiqamah dalam memegang teguh dan menjalankan agama ini dengan disertai memohon ampun kepada-Nya. (QS. Fushilat: 6).
Istiqamah menjadi penting di dalam beragama maupun di semua bidang usaha karena ia merupakan kumpulan dari cabang ibadah dan keimanan serta pembuka bagi jalan yang lurus, Maka Rasulullah SAW pun berwasiat kepada kita semua agar kita senantiasa beristiqamah, "Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah." (HR. Muslim).
Sedemikian pentingnya sikap istiqamah, sehingga tidak ada satu usaha (ikhtiar) yang berujung pada keberhasilan tanpa dilandasi oleh sikap istiqamah. Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk mengenai sikap istiqamah melalui sabdanya, "Tidaklah istiqamah iman seseorang sampai hatinya istiqamah. Dan sekali-kali hati seseorang tidak akan istiqamah sampai lisannya dulu istiqamah).”
Adapun keuntungan bagi orang-orang yang istiqamah, maka mereka ini akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, tenang hati dan pikirannya, pandai menerima takdir, tidak takut dan khawatir dalam menghadapi segala macam cobaan dan rintangan dalam kehidupan dunianya, selalu optimis dan tidak kenal kata putus asa.
Sebagaimana kabar gembira yang diberikan Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” 

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga ) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan mendapatkan apa yang kamu minta." (QS. Fushshilat: 30-31). Wallahu a'lam.

Menajemen Emosi

Oleh: Muhbib Abdul Wahab 
Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib—Karramallahu wajhah—terlibat duel dengan salah satu jawara kaum musyrik. Ia berhasil menjatuhkan lawannya. 

Ketika Ali hendak membunuhnya, sang musuh meludahi Ali dan mengenai wajahnya. Atas hal itu, Ali mengurungkan niatnya dan berlalu meninggalkannya.

Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Ali. “Hendak ke manakah engkau?” ujarnya. 

Ali menjawab, “Mulanya, aku berperang karena Allah, namun ketika engkau melakukan apa yang telah engkau lakukan terhadapku (meludahiku), aku khawatir membunuhmu hanya sebagai balas dendam dan pelampiasan kemarahanku. Jadi, aku membebaskanmu karena Allah.”

Orang itu pun berkata, “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu hingga engkau segera membunuhku. Jika agama yang kalian anut sangat toleran, maka sudah pasti ia adalah agama yang benar.”

Sekelumit kisah tersebut menunjukkan setidaknya empat nilai akhlak mulia. Pertama, menjaga ketulusan niat dan komitmen. Niat suci untuk berjihad karena Allah SWT yang sudah dibulatkan dalam hati yang bersih tidak boleh dinodai oleh niat lain yang dapat menggugurkan kesucian niat awal.

Jika kesucian niat sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak mulia, niscaya dapat merusak amal kebaikan dan menjadikannya tidak bermakna, sia-sia di mata Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, menahan diri untuk tidak terprovokasi dan melakukan balas dendam merupakan akhlak yang sangat terpuji, terutama dalam suasana permusuhan dan peperangan. Manusia seringkali tidak bisa mengendalikan diri (emosi) jika dimusuhi.

Dalam hal ini, Ali justru tidak sudi membunuh musuh yang terang-terangan telah meludahinya, meskipun beliau dapat melakukannya terhadap musuh yang sudah tidak berdaya. 

“Orang yang kuat bukanlah karena kehebatan kekuatannya, akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.” (Muttafaq 'alaih).

Ketiga, mengelola kemarahan dengan tidak mendendam merupakan energi positif untuk memberi ruang bagi munculnya sikap arif dan mau memaafkan orang lain. Memberi maaf jauh lebih baik daripada melampiaskan balas dendam.

Alquran mengajarkan kepada kita untuk membela diri jika diperlakukan secara zalim. Namun, memberi maaf lalu berdamai itu pasti lebih indah dan damai. (QS as-Syura [42]: 39-40).

Keempat, sikap lapang dada dan besar hati untuk hidup damai merupakan kata kunci toleransi dan kerukunan hidup. Kemarahan pada dasarnya wajar (manusiawi), tetapi membiarkan kemarahan tanpa kendali adalah awal dari sikap dan perilaku disharmoni.

Karena itu, ketika ada seorang sahabat menemuni Nabi dan meminta nasihat kepadanya, beliau menyatakan, “Jangan marah! (beliau mengulanginya sampai tiga kali).” (HR Muslim).

Manajemen emosi dan kemarahan dapat diterapi dengan berwudhu, karena marah itu ibarat bara api yang bergejolak dan hanya dapat padam jika disiram dengan air. 

Manajemen emosi bisa berfungsi lebih efektif dan optimal jika dibarengi dengan zikrullah (mengingat Allah), beristighfar kepada-Nya, mengingat kematian, berbaik sangka, berpikir positif, dan bersabar. Wallahu a'lam.

Usia dan Dosa

Oleh: Dr A Ilyas Ismail

Fudhail bin Iyadh merupakan salah seorang sufi yang hidup semasa dengan Khalifah Harun al-Rasyid. 
Suatu hari, ia berjumpa seorang kakek tua yang sedang bersandar di tongkatnya. Fudhail bertanya, “Berapa usia tuan?” 
Sang kakek menjawab, “Enam puluh tahun.”
Fudhail bertanya lagi, “Apakah usia 60 tahun tuan gunakan untuk  ketaatan kepada Allah? Tuan hampir sampai,” (menemui ajal),” ujarnya.
Mendengar hal itu, sang kakek itu menangis tersedu-sedu. Ia berkata, “Aku galau. Umurku terbuang percuma. Aku banyak melakukan dosa. Aku pun tak tahu, apa yang akan Allah perbuat untukku.”
Mendengar ungkapan tulus itu, Fudhail menawarkan solusi. “Mau aku beri tahu jalan keluarnya? Pergunakan waktu tersisa untuk kebaikan, niscaya Allah SWT mengampuni kesalahan yang telah lalu,” kata Fudhail.
Dialog ini sangat inspiratif dan mendorong kita untuk merenung. Paling tidak ada tiga hal penting dalam hidup ini, yaitu usia, dosa, dan amal saleh sebagai bekal atau persiapan menyongsong kematian (al-isti`dad li yaum al-ma`ad).
Pertama, usia. Usia adalah waktu yang disediakan Tuhan untuk ibadah (QS Al-Furqan [25]: 62). Waktu terus berputar dan berlalu begitu cepat. Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Lantas, apakah usia (waktu) yang kita miliki dipergunakan untuk kebaikan?
Inilah pertanyaan Fudhail yang mesti kita renungkan. Nilai usia tidak terletak pada jumlah (kuantitas)-nya, tetapi pada kualitas dan keberkahannya. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya.” (HR Tirmidzi dan Ahmad dari Abi Bakrah).
Kedua, dosa. Manusia, pada umumnya, lebih mengingat kebaikan daripada dosa dan kesalahannya. Tapi, perlu diketahui, bahwa Allah SWT tak pernah lupa. Dia terus mencatat dosa manusia, dan memperlihatkannya kelak di hari Kiamat. (QS al-Mujadilah [58]: 6).
Supaya tidak mudah lupa dengan dosa yang kita lakukan, Imam Ghazali menyarankan agar kita melempar batu kecil (kerikil) di halaman rumah setiap kali melakukan dosa. Jika hal itu dilakukan, demikian al-Ghazali, maka boleh jadi, dalam waktu tidak terlalu lama, kerikil itu akan menumpuk dan menggunung.
Untuk menghapus dosa ini, maka cara yang harus dilakukan adalah bertaubat. Taubat berasal dari kata taba yang berarti kembali ke jalan yang benar dengan cara berhenti melakukan dosa, baik yang besar maupun kecil.
Taubat adalah akses yang disediakan Tuhan bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali ke jalan-Nya. Bagi mereka yang bertaubat, Allah menyediakan pahala dan ampunan. (QS al-Furqan [25]: 70-71).
Ketiga, amal saleh. Secara harfiah, amal saleh bermakna kerja atau perbuatan yang mendatangkan kebaikan. Amal saleh adalah moode of existence atau cara beradanya manusia.
Manusia dipandang benar-benar eksis, bila ia bekerja dan berbuat kebajikan. Tanpa kerja (amal saleh), ia sama dengan tidak ada. Itu sebabnya, amal saleh menjadi satu-satunya faktor yang mempermudah jalan menuju Allah.
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a`lam.

Islam dan Perilaku Sosial

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS:Al Hujuraat: 49) 
Masih hangat berita tentang agresi militer yang "dimuntahkan" para Zionis Israel ke tanah Palestina. Negara menjadi hantaman dan rakyat pun menjadi korban kekerasan. Korban tiada henti berjatuhan akibat ulah dan kecerobohan. Apa yang harus dikata ketika akal pikiran menguasai hati serta dibumbui oleh ketamakan terhadap duniawai yang kebablasan. Sekiranya perkara ini merupakan salah satu luapan opini umat dan rasa solidaritas meraka terhadap peristiwa yang menimpa rakyat Palestina.
Lagi-lagi dunia dihebohkan dengan perkara kemanusiaan yang tak berujung habisnya. Senada dengan apa yang diungkapkan Presiden Turki Abdullah Gul yang dikutip dari media Voa-Islam Kairo, mengindikasi adanya kepentingan sepihak terhadap perilaku Israel yang bermuara kepentingan politik semata.
Dimanakah letak prilaku sosial umat manusia, ketika ketidakberdayaan dijadikan ultimatum untuk saling menguasai antar belah pihak yang tidak lain adalah benih dari ketamakan manusia saja. Tidak adanya rasa toleransi (tasammuh), saling mengasihi dan menghargai antar sesama, sehingga berujung kepada saling menjatuhkan serta menindas satu dengan lainnya.

Perilaku sosial dalam Islam
Dalam Islam, perilaku sosial merupakan salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam segi bathiniyah diciptakan dari berbagai macam naluri, di antaranya memiliki naluri baik dan jahat. Naluri baik manusia sebagai makhluk sosial itulah yang disebut fitrah, dan naluri jahat apabila tidak dituntun dengan fitrah serta agama akan menjadi naluri yang bersifat negatif.
Dalam Alquran telah dijelaskan mengenai naluri manusia sebagai makhluk sosial dan tujuan dari penciptaan naluri tersebut:
“Kami telah menentukan di antara mereka keadaan hidup mereka di dunia ini, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka daripada sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mengambil manfaat dari sebagian lain.” (QS Az-Zukhruf: 32)
Sejatinya daya tahan naluri manusia terhadap hal-hal jahat (negatif), ditentukan oleh tingkat kedekatan seorang hamba kepada Allah SWT. Senada dengan apa yang dikemukakan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi dikutip dari media Republika, bahwasanya hablumminallah dan hablumminannas adalah cerminan dari tauhid ibadah dan perilaku sosial yang akan membentuk karakter Islami yang spesifik. Karena setiap manusia secara alamiah telah diperlengkapi oleh Allah SWT instrumen-instrumen kemanusiaan yang dapat mengangkat hakat dan martabat manusia itu.
Akan tetapi, perilaku sosial tersebut belumlah sempurna sebelum ada sentuhan tauhid dan ibadah serta nilai-nilai sosial Islam. Hal ini disebabkan, karena manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, namun juga akan hidup dalam kehidupan selanjutnya yakni hidup dalam alam barzakh dan alam akhirat, ungkapnya.
Di lain sisi, Rasulullah Saw telah banyak memberikan contoh dan teladan yang universal tentang perilaku sosial dalam masyarakat. Seperti ketika Rasulullah Saw berada dalam sebuah majelis berkumpul bersama para sahabat, ketika itu para sahabat banyak yang datang dari golongan rendah (miskin). Seperti Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Mereka berpakaian sederhana, kusut dan jubah bulu yang tradisional. Meskipun demikian, merekalah sahabat setia Rasulullah dalam memperjuangkan risalah dan dakwah Islam.
Dalam majelis itu juga hadir para bangsawan. Mereka melihat para sahabat dengan tatapan kurang nyaman karena akan duduk berdekatan dengan rakyat miskin yang tidak lain merupakan sahabat Rasulullah Saw. 
Seraya berkata kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah, bisakah kami mendapatkan majelis khusus bagi kami dan tidak bersama dengan rakyat miskin ini. Mayarakat Arab tahu dan mengenal kemuliaan kami. Utusan-utusan dari berbagai Qabilah Arab akan datang dalam majelis ini. Kami sebagai bangsawan merasa malu apabila mereka melihat kami duduk satu majelis dengan rakyat biasa."
Salah seorang bangsawan menegaskan kembali, "Bau Salman al-Farisi membuatku terganggu. Buatlah majelis khusus bagi kami para bangsawan, sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami." 
Sehingga turunlah Surat Al-An’am Ayat 52 yang berbunyi:
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim."
Rasulullah dengan tenang meminta sahabatnya untuk duduk lebih berdekatan lagi, merapat dengan lutut Rasulullah Saw. Beliau lalu memulai majelis dengan ucapan "Assalamu'alaikum", seakan menjawab permintaan para bangsawan Quraisy tadi. 
Dengan adanya peristiwa tersebut, Rasulullah Saw untuk selanjutnya selalu berkumpul bersama para sahabatnya. Mereka duduk dalam satu majelis dan berdekatan dengan tidak memandang golongan rendah ataupun bangsawan.
Seringkali beliau mengucap "Alhamdulillah, terpuji Allah SWT yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya lima ratus tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya."
Hingga turunlah Surat Al-Kahfi Ayat 28: 
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
Dari kisah di atas, Rasulullah Saw mengajarkan serta memberikan teladan kepada umat mengenai perilaku sosial yang harus ada dalam jiwa umat Islam. Tidak adanya perbedaaan antar golongan, maupun saling menjatuhkan dan saling mengunjing, karena sesungguhnya Allah SWT tidak melihat rupa, harta dan derajat seseorang. Allah SWT akan melihat ke dalam hati umat manusia yang bertakwa, Innallah la yandzuru ila ajsadikum, wa la ila suwarikum, wa laiknna allah yandzuru ila qulubikum. 
Di sinilah letak Islam sangat menjunjung tinggi perilaku sosial antar umat manusia. Perilaku yang bersifat menindas serta merendahkan martabat manusia hanya untuk kepentingan sebelah pihak semata, sangat dilarang dalam Islam. Dan Islam mengajarkan tasammuh yang lebih universal, tidak memandang dan berpihak hanya kepada golongan tertenu namun kepada umat manusia secara keseluruhan. Itulah perwujudan dari hablumminannas.
Negara-negara muslim seyogyanya peka terhadap aspek perilaku sosial. Hendaknya pula menjadi negeri yang mencerminkan kepribadian serta perilaku sosial bermasyarakat yang baik antara sesama masyarakat dan umat manusia di berbagai negeri. 
Hal itupun akan dapat terealisasi, ketika umat manusia kembali kepada ajaran Islam dalam hablumminallah (hubungan dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Sehingga, dengan keridhaan Allah SWT akan terwujud baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Wallahu’alam bissawab... (Republika)

Kejujuran Mahkota Kehidupan

Oleh: A Riawan Amin

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (QS Ghafir: 19). 
"Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi." (QS al-Fajr: 14).
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan melintasi padang rumput. Dia terpesona melihat kambing-kambing yang gemuk dan sehat. 
Dia kemudian menemui sang penggembala dan berniat untuk membelinya. Namun, budak itu menolak, dengan alasan kambing itu punya majikannya. 
Khalifah Umar berkata lagi, "Bilang saja kepada majikanmu bahwa kambing itu dimakan serigala." 
Namun, apa kata si bocah gembala? "Kalau begitu, di mana Allah?" Akhirnya, Umar membebaskan budak tersebut dan menyerahkan seluruh kambing itu kepadanya.
Pada waktu lainnya, ketika musim paceklik, Khalifah Umar berjalan berkeliling Kota Madinah. Sebelumnya, dia mewanti-wanti kepada kaum Muslim agar jangan berlaku curang. 
Ketika pada suatu malam dia melintas dekat sebuah rumah, terdengar percakapan antara seorang ibu penjual susu dan anak gadisnya. Sang ibu menyuruh anaknya untuk mencampur susu tersebut dengan air, supaya hasilnya lebih banyak dan mereka untung lebih besar. 
Namun, sang gadis tidak mau, karena Khalifah Umar melarang warga mencampur susu dengan air. "Memang, tidak ada orang yang mengetahui perbuatan kita. Tapi, di mana Allah? Allah dan para malaikat tahu, dan besok di hari kiamat kita akan dimintai pertanggungjawabannya," kata si gadis.
Mendengar kejujuran sang gadis, Khalifah Umar lalu mengambilnya sebagai menantu.
Dua kisah di atas menggambarkan betapa agungnya kejujuran. Kejujuran yang lahir dari iman yang teguh kepada Allah SWT. Iman yang meyakini bahwa Allah Mahamelihat apa pun yang kita lakukan, biarpun tidak ada orang lain yang tahu. Selalu jujur kapan pun dan di manapun. Selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabah).
Rasul SAW memerintahkan kepada setiap Muslim untuk selalu bersikap dan berbuat jujur. Sebaliknya, Rasul SAW mengingatkan setiap Muslim agar menghindari sikap dan perbuatan dusta. 
Mari kita simak hadis berikut ini: "Bersikaplah jujur. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke surga… Jauhilah bohong. Sesungguhnya kebohongan menyeret pada kedurjanaan, dan kedurjanaan menyeret ke neraka…" (HR Muslim).
Jujur adalah mahkota kehidupan. Karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim senantiasa berpegang teguh pada kejujuran. Kejujuran akan mencegah seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak diridai Allah SWT. 
Misalnya, korupsi, berjudi, berzina, mencuri, merampok, menipu, memperdaya orang lain, dan berbagai perbuatan buruk lainnya yang selama ini, dan terutama akhir-akhir ini, makin sering terjadi di negeri ini. 
"Sesungguhnya Allah itu cemburu. Cemburunya Allah, yaitu jika seseorang melakukan sesuatu yang diharamkan terhadapnya." (HR Bukhari-Muslim).

Tiga Misi Risalah Kenabian

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Rasulullah SAW menjalankan misi kenabian selama 23 tahun, 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah. 
Misi tersebut dijalankan Rasulullah dengan sukses disertai rida Allah SWT, sehingga pada penutup wahyu-Nya, Allah SWT berfirman: "Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Maidah: 3).
Dr Muhammad Basam Al-Zein Dalam  karyanya "Muhammad Rasulullah" membagi misi kenabian Muhammad SAW dalam tiga bagian. 
Pertama, pembacaan ayat-ayat Alquran. Pembacaan di sini berarti bahwa Allah SWT mengajarkan pembacaan dan makna Alquran kepada Muhammad melalui Jibril AS lengkap dengan pengucapan makhraj huruf, tajwid, urutan dan sistem aturan di dalamnya (QS. Ar-Rahman: 1-2).
Kemudian pengajaran di sini juga berarti bahwa Rasulullah SAW lalu mengajarkan Alquran kepada para sahabatnya, para sahabat mengajarkan kepada para tabiin, para tabiin mengajarkan kepada tabiit-tabiin, dan begitu seterusnya hingga pada generasi Alquran terakhir hari kiamat nanti.
Allah SWT berfirman, "Dan Alquran (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap." (QS. Al-Isra': 106).
Kedua, penyucian jiwa. Rasulullah SAW telah melakukan penyucian jiwa orang-orang terdekat dan para sahabatnya dengan cara menanamkan dan menumbuhkan keimanan di dalam hati mereka; mengalahkan hawa nafsu mereka; mendidiknya agar sesuai dengan petunjuk Alquran; konsisten dalam keimanan dan takwa; serta berlaku ihsan dalam setiap perbuatan, sehingga ciri khas keberhasilan dari proses penyucian jiwa tersebut adalah menemukan manisnya keimanan.
Rasulullah SAW bersabda, "Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; Kedua, cinta seseorang semata-mata karena Allah; Ketiga, benci kembali dalam kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke neraka." (HR. Bukhari).
Ketiga, pengajaran Alquran, as-sunnah dan al-hikmah. Rasulullah SAW telah mengajarkan ketiga ilmu tersebut kepada para sahabat dan mereka mengajarkan kepada generasi ke generasi hingga saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti. 
Pengajaran ketiga ilmu tersebut merupakan warisan Rasulullah SAW sebagaimana komentar Abu Hurairah RA pada saat melihat sebagian kaum shalat di masjid, sebagian yang lain membaca Alquran, sebagian lagi belajar halal-haram, lalu Abu Hurairah berkata, "Semua itu adalah warisan Muhammad SAW." (HR. Tabrani dengan sanad hasan).
Ketiga misi kenabian tersebut tidak lain merupakan pengabulan Allah SWT atas doa Nabi Ibrahim AS. Allah SWT berfirman: "Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Alquran), dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali-Imran: 164). Wallahu a'lam.

Berbaik Sangka


Oleh: Nanat Fatah Natsir 

Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap semua orang. 
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mengutus Umar untuk menarik zakat, tetapi Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah tidak menyerahkan (zakat).
Sehingga beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat, kecuali karena dia fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya."
"Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu." (HR Bukhari dan Muslim).
Rasul SAW senantiasa memperingatkan umat Islam agar menjauhi prasangka buruk. "Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian menyadap (pembicaraan kaum), memata-matai mereka, berlomba-lomba (dalam hal yang tidak baik), saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).
Al-Hafidz mengatakan bahwa Khaththabi berpendapat bahwa yang dimaksud prasangka dalam hadis tersebut adalah benar-benar prasangka, bukan sesuatu yang terlintas dalam benak pikiran, sebab hal itu di luar kemampuan seseorang.
Prasangka yang dimaksud oleh Khaththabi adalah prasangka yang menetap dalam hati. Lintasan hati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia. "Allah mengampuni prasangka yang terlintas dalam hati manusia selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya." (HR Bukhari dan Muslim).
Qurthubi mengatakan, yang dimaksud dengan prasangka (yang terlarang) adalah tuduhan tanpa alasan. Misalnya menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada bukti nyata. Karena itu, kata azh-zhann dalam redaksi hadis ini, dihubungkan dengan larangan untuk memata-matai orang lain.
Jika seseorang memiliki sedikit prasangka yang mengarah pada tuduhan di dalam hatinya, ia akan berupaya untuk mewujudkan tuduhan itu. Dia akan mencari-cari kesalahan orang yang dituduh dengan memata-matainya. Karena, langkah-langkah itu dilarang agama.
"Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain..." (QS al-Hujarat: 12).
Dalam kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini banyak kejadian yang bersifat prasangka dan tuduhan di antara sesama warga (su'uzhon). Padahal, berbagai persoalan tersebut memerlukan penelitian, klarifikasi (tabayyuni) sehingga duduk persoalan jelas dan kita dapat menyikapinya dengan bijaksana agar tidak menyalahkan orang lain.
Karena itu, kearifan dari berbagai pihak khususnya para tokoh dan pemimpin masyarakat merupakan sikap Nabi yang selalu husnuzhan dalam menyikapi berbagai persoalan sehingga masalah menjadi cair, jernih, dan sejuk dan akhirnya persoalan dapat diselesaikan dengan damai dan adil. Wallahu 'alam. (Republika)

Kejahatan Kemanusiaan


Oleh: KH Didin Hafidhuddin

Di dalam Alquran dan hadis terdapat berbagai istilah yang pengertiannya jauh lebih luas dari pengertian yang selama ini dipahami. 
Misalnya, tijarah (perdagangan) selalu dipahami dengan jual beli atau tukar-menukar komoditas tertentu.
Tetapi, di dalam Alquran Surah ash-Shaff [61] ayat 10 dan 11, yang juga dikatakan tijarah atau perdagangan dalam bentuk lain yang akan menyelamatkan dari azab neraka, yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa.
Juga istilah cendekiawan, selama ini selalu dipahami orang yang memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam. Tetapi, di dalam hadis riwayat Abu Dawud, yang dikatakan cendekiawan itu adalah orang yang dengan ilmunya berusaha melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Karena itu, walaupun seseorang memiliki gelar akademik yang tinggi, yang menunjukkan kecendekiaannya, tetapi dia tidak pernah rukuk dan sujud, bermunajat dan berdoa kepada Allah, hakikatnya adalah bukan cendekiawan.
Terdapat juga pengertian muflis (orang yang bangkrut), seperti dikemukakan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bukanlah hanya orang yang merugi di dalam kegiatan usahanya, sehingga semua asetnya habis.
Namun, orang yang melakukan berbagai macam perintah Allah, seperti shalat, puasa, dan zakat, serta dalam waktu yang bersamaan melakukan kejahatan kemanusiaan. Memfitnah orang lain, melakukan pembunuhan karakter, mencaci maki, mengadu domba, mengambil hak orang lain, bahkan tidak segan-segan pula untuk melukai dan membunuhnya.
Jika hal tersebut memang diperlukan untuk mencapai tujuannya, di akhirat nanti, pahala dari kebaikan yang dilakukannya akan diberikan kepada orang yang dianiaya dan dijahatinya, sehingga semua pahalanya habis.
Dan apabila masih banyak orang yang dijahatinya, yang tidak sempat memaafkannya, maka keburukan-keburukan orang yang dijahatinya itu akan ditimpakan kepadanya, sehingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam neraka. Naudzubillah.
Beramal ibadah kepada Allah SWT, harus berbanding lurus dengan kebaikan bagi sesama manusia. Orang yang suka beribadah kepada Allah, tetapi jahat kepada sesama manusia adalah sama buruknya dengan orang yang baik kepada sesama manusia, tetapi tidak mau beribadah kepada Allah SWT.
Karena itu, meskipun dalam suasana hiruk pikuk dan kegaduhan dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, seorang Muslim harus tetap istiqamah, berbuat baik kepada Allah, dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Sehingga, hidupnya akan diselamatkan Allah SWT di dunia ini maupun di akhirat nanti. Wallahu a’lam. (Republika)

Bahaya Harta Haram

Oleh: KH Achmad Satori Ismail
Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Kaab bin Ujroh, aku mohonkan perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.’ 
Kaab bertanya, ‘Apakah itu, wa hai Rasulullah?’ 
Beliau menjawab, ‘Setelahku akan ada para penguasa di mana siapa yang ikut mereka dan membenarkan ucapannya serta mendukung kezalimannya maka mereka bukanlah golonganku dan aku tidak termasuk golongannya dan mereka tidak akan masuk dalam telagaku’.”
“Dan barang siapa yang tidak mau ikut mereka, tidak membenarkan ucapannya dan tidak mendukung kezalimannya, maka mereka termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya serta mereka akan masuk dalam telagaku.”
“Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami).
Allah memerintahkan kita agar selalu makan makanan halal dan menjauhi yang haram sebagai bentuk syukur untuk menambah keberkahan hidup. (QS al-Baqarah [2]: 172). Orang yang memakan makanan halal akan dilindungi dari api neraka.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata, “Seseorang di bawah tanggungan Rasulullah SAW bernama Kirkiroh, kemudian ia meninggal. Namun Rasul berkata, ia akan masuk ke neraka. Maka, para sahabat pergi memeriksanya, ternyata mereka menemukan sebuah baju jubah hasil tipuan.” (Shahih Bukhari, hadis No. 2845).
Di antara bahaya memakan harta haram, pertama, pelakunya akan masuk neraka. “Barang siapa yang mengambil hak milik orang Muslim dengan menggunakan sumpah, maka Allah akan mewajibkannya masuk neraka dan diharamkan masuk surga.” 
Seorang bertanya, “Walaupun barang yang kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun sepotong kayu arok.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami dari Abu Umamah).
Kedua, pemakan haram tidak akan mencapai derajat takwa. Orang bertakwa adalah ahli surga. Dari Atiyyah as- Sa’di, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sampai meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir terperosok pada yang haram.”
Ketiga, orang yang makan makanan haram kesadaran beragamanya sempit, artinya tidak banyak beramal yang mendapat pahala sehingga mudah masuk neraka. “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR Bukhari).
Keempat, pemakan harta haram tidak diterima amalnya dan ditolak doanya. “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang yang memasukkan sekerat daging haram ke perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan barang siapa yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba maka neraka lebih utama untuk membakarnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darami).
Orang yang makan harta haram sama dengan berusaha menghancurkan dirinya, merusak ibadahnya, mempermainkan doanya dan menghancurkan keluarga serta keturunannya. (Republika)

S u j u d

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur 

Harapan, jalan keluar, dan solusi akan selalu ada bila saudara bertuhan Allah. Karena, semua itu Allah yang punya. 
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tidak ada yang mustahil untuk Allah. Selalu ada itu semua.
Yuk, kita lihat ayat berikut ini. Ayat ini pernah memotivasi saya. Ayat ke-27 Surah as-Sajdah.
“Dan, apakah mereka tidak memerhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke Bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan?"
Saya melihat Allah menghalau awan yang mengandung air ke Bumi yang tandus hingga Bumi itu kemudian subur dan bisa bermanfaat.
Siapa yang mempunyai awan tersebut dan siapa yang mempunyai Bumi yang tandus? Tentu saja adalah Allah. Persoalan dan jawaban, Allah yang punya. Subhanallah. Lalu, mengapa kita bisa mencari pertolongan selain Allah? Sedang dua-duanya di tangan Allah?
Saya melihat ayat itu. Lalu, saya bahagia. Saya tersenyum. Saya yakin semua harapan pasti selalu ada. Semua jawaban selalu ada. Semua solusi juga selalu tersedia. 
Itu semua bukannya tidak ada, kok. Persoalannya adalah apakah Allah mau “menghalau” itu semua? Menggiringnya? Hingga ada di hadapan kita?
Obat bukannya tidak ada. Tapi, Allah yang belum mengasih (memberi) buat kita. Obat-obat yang diminum sama yang sakit jadi tidak ada pengaruh semua. Duit, pekerjaan, proyek, tagihan, jodoh, bukan tidak ada. Pastinya semua ada. 
Saya yakin. Allah menyediakan persoalan, pasti berikut jawabannya. Tapi, duit, pekerjaan, proyek, tagihan, jodoh, tidak atau belum disodorkan oleh Allah buat kita.
Melihat isi ayat itu, adanya di Surah as-Sajdah, saya lalu tersenyum dan juga bahagia. Sebab apa? Saya baik sangka sama Allah dan kagum sama Allah. Bahwa semua yang kita perlukan—sebagai “awan yang mengandung air”—untuk membuat Bumi yang tandus jadi subur adalah sujud. Ya, sujud. Kita harus bersujud.
As-Sajdah berarti sujud. Dan, memang persoalan ini persoalan abad ini juga. Makanya, orang kayak kehilangan arah.

Luasnya Rahmat Allah

Oleh: Ustaz M Arifin Ilham
Harus kita akui bahwa ibadah, amal saleh, dan bentuk-bentuk ketaatan lainnya kepada Allah SWT, masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan aneka kemaksiatan dan dosa yang kita lakukan pada-Nya.
Sebaliknya, dibanding rahmat-Nya yang sampai kepada kita atau murka- Nya, yang justru deras mengguyur kita adalah rahmat-Nya. 
Padahal, yang meluncur kencang adalah kemaksiatan dan dosa kita. Seakan murka-Nya tersembunyi di balik kasih sayang atau rahmat Allah.
Benarlah demikian adanya. Setiap hari kita menabung dosa, tapi justru dibalas oleh rahmat-Nya. Bukankah kita masih diperkenankan hidup. Udara dunia masih bisa kita hirup. Bahkan, berbagai fasilitas kehidupan pun masih dipenuhi.
Alam masih relatif bersahabat dengan kita bila dibandingkan dengan umat-umat terdahulu yang langsung diazab dan direspons oleh alam ketika dosa dan kemaksiatan semakin merajalela. Sekali lagi ini menandakan rahmat Allah di atas murka-Nya.
Karena itu, di hadapan para sahabatnya, Rasulullah berpesan, “Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk, Allah menuliskan di dalam kitab-Nya, yang kitab itu berada di sisi-Nya di atas Arsy, yang isinya adalah: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR Bukhari Muslim).
Pernah terjadi suatu waktu, rombongan tawanan perang dihadapkan kepada Rasulullah. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya itu maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan lalu menyusuinya.
Saat itulah Rasulullah bertanya kepada rombongan itu. “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Rombongan itu menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” 
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini menyayangi anaknya.” (HR Bukhari Muslim).
Saudaraku, jika kini kita semakin yakin betapa luasnya rahmat Allah Ta’ala maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menjemputnya dan jangan sampai terlintas dalam benak pikiran untuk berputus asa. Sikap putus asa ini adalah sifat orang-orang kafir dan sesat.
“Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb- Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS al-Hijr: 55-56).
Yakinlah, siapa pun kita masih terbuka peluang meraih rahmat Allah SWT, walaupun banyak dosa dan kotoran kesalahan menyelimuti diri kita. Ingatlah, selama kita masih menghela napas, maka pintu rahmat Allah SWT senantiasa terbentang luas. 
Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang memintanya. Karena itu, bersegeralah bertaubat dan meraih rahmat-Nya. Wallahu a’lam.

Hakikat Tawakal


Oleh: Zainal Arifin
Suatu hari, seorang lelaki Badui datang ke masjid menunggangi kuda. Sesampainya di Masjid, ia menghadap Rasulullah SAW tanpa mengikat kudanya.
Ketika ditanyakan hal itu kepadanya, lelaki itu berkata, "Aku sudah bertawakal kepada Allah." Atas hal ini, Rasulullah SAW pun berkata, "Ikatlah kudamu, kemudian bertawakallah kepada Allah." (HR Tirmidzi).
Pesan penting ini disampaikan Rasulullah SAW untuk membuka pemahaman kita akan makna penting dari tawakal.
Tawakal yang seharusnya mendasari segala aktivitas orang-orang beriman dan menjadi landasan bagi mereka yang senantiasa berserah diri kepada Allah SWT.
Inilah salah satu ajakan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk bertawakal hanya kepada pencipta kehidupan ini. "... dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal." (QS Ibrahim: 11).
Permasalahannya, banyak di antara kita yang sering misunderstanding (salah persepsi) dalam menafsirkan dan mengaplikasikan bentuk tawakal tersebut.
Banyak orang yang mengaku bertawakal kepada Allah SWT dalam setiap urusannya, namun mereka tidak atau belum melakukan usaha secara maksimal. Dan ketika terjadi kegagalan, mereka menyalahkan takdir atau ketentuan yang mereka terima.
Banyak manusia yang condong mengutamakan pasrah tanpa usaha sebagai bentuk tawakal mereka. Mereka menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT tanpa ada upaya untuk menyelesaikannya.
Misalnya, seorang hamba berzikir dan berdoa kepada Allah SWT dengan sepenuh hatinya ketika dia mendapati kesulitan membayar utangnya. Dia berharap karunia Allah secara tiba-tiba. Namun, dia tak punya usaha untuk menyelesaikan utangnya itu.
Tawakal bukan berarti meniadakan upaya, harus ada kerja nyata dan kesungguhan dalam mewujudkan impian. Apabila bekerja harus ada usaha dalam mencapai hasil kerja yang terbaik, meski untuk hasilnya hanya Allah SWT yang menentukan.
Sekelompok semut pun harus bekerja sama mengangkat makanan cadangan untuk disimpan, kendati mereka mendapatkan makanan itu dari tempat yang sangat jauh. Demikian juga dengan seekor merpati yang harus terbang lagi mencari makan, walaupun tuan pemiliknya telah meletakkan makanan di depan kandangnya.
Demikianlah sebagai kiasan pada orang-orang yang bertawakal dengan sesungguhnya. Tawakal yang tidak menjadikan seseorang berdiam diri dalam menunggu takdir. Tawakal menuntut kita untuk berupaya semaksimal, sembari mengharap rida Allah SWT.
"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepadamu, sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang." (HR Tirmidzi).
Rasulullah SAW sangat menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja keras dan tidak sekadar bergantung pada doa. Rasulullah juga mengimbau kaum Muslim untuk mencari rezeki tanpa putus asa dan menyerahkan apa pun hasilnya kepada Allah SWT. "... Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya..." (QS ath-Thalaq [65]: 3). (Republika)

Sabtu, 26 Januari 2013

Shalat Malam


Oleh: Makmun Nawawi
Sulaiman bin Mansur bin Ammar berkata, "Ketika aku berada di majelis Abu Manshur, terjatuhlah secarik kertas di majelis itu yang bertuliskan: 'Bismillahirrahmanirrahim."
Lalu aku berkata padanya. "Wahai Abus Sura, aku adalah salah seorang dari saudara engkau. Aku bertobat di hadapanmu, aku ingin membeli bidadari dari Allah dengan mas kawin 30 kali khatam Alquran."
"Maka aku pun berhasil mengkhatamkan 29 kali, dan begitu hendak masuk ke-30, aku benar-benar tak kuasa menahan kantuk."
"Maka seketika itu juga aku bermimpi melihat bidadari keluar dari mihrabnya, menemui aku. Ketika dia melihat aku, dan aku melihat dia, maka bidadari itu bersenandung dengan suaranya yang merdu."

"Apakah engkau hendak meminang (bidadari) sepertiku, dan engkau tidur dariku? Padahal para pecinta itu haram tidur dariku. Karena aku diciptakan untuk setiap orang yang banyak shalat (malam)-nya dan menjaga puasanya."

Qiyamul lail (shalat malam) merupakan amalan para nabi. Hal yang sama juga dilakukan para sahabatnya. Sepanjang malam, Nabi Muhammad SAW mendirikan shalat malam dan bermunajat kepada Allah hingga kakinya bengkak dan kulitnya menguning.

Hal itu berlangsung hingga 12 bulan atau lebih. Ada yang mengatakan lebih dari 10 tahun. Namun, praktik shalat malam yang terus-menerus (setiap malam) itu, baru berkurang setelah ada keringanan (rukhshah) untuk para sahabatnya. Bagi mereka, perintah itu sunah, sedangkan untuk Nabi SAW shalat malam adalah kewajiban.

Qiyamul lail (shalat malam) merupakan kekuatan mahadahsyat untuk umat Islam. Ketika fajar dakwah Islam mulai menyingsing, dan umat dihantam berbagai macam siksaan, shalat malam menjadi wahana bagi mereka untuk menambatkan segenap kepedihan yang menghimpit jiwa. Qiyamul lail memberikan suntikan kekuatan yang mengagumkan dalam mengarungi atmosfer kehidupan.

Rasulullah SAW bahkan sangat mendorong umatnya untuk senantiasa mendirikan shalat malam. "Hendaklah kalian menunaikan qiyamul lail, karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia juga bisa mendekatkan kalian pada Rabb kalian, pelebur kesalahan, penghalang dari dosa, dan pengikis penyakit dari tubuh." (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Narasi di atas menggugah kita bahwa surga dengan kenikmatannya yang melimpah ruah, termasuk bidadari, adalah tidak gratis. Dan orang yang melazimkan diri dengan qiyamul lail, potensial untuk meraihnya.

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya, mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam." (QS adz-Dzariyat: 15-17).

Qiyamul lail juga merupakan tangga menuju kemajuan, baik secara spiritual, intelektual, bahkan finansial. Alquran membahasakannya dengan maqamam mahmuda (tempat yang terpuji). (QS al-Isra [17]: 79).

Banyak orang yang meraih prestasi bagus dalam hidupnya, karena kebiasaannya dalam mendirikan shalat malam. Mereka tak pernah lelah mengabdi kepada Allah dan memperbanyak amal ibadah di kala banyak manusia sedang tidur nyenyak. Semoga kita bisa melakukan hal yang sama. Wallahu a'lam.
 (Republika)

Pohon yang Baik

Oleh: Ustadz Hasan Basri Tanjung MA
                                                                                                               
Allah SWT. mengajarkan kepada kita salah satu metode pembelajaran dalam al-Qur’an yakni perumpamaan (amtsaal). Suatu masalah akan lebih mudah dipahami jika diumpamakan, apalagi menyangkut perkara yang metafisik.   
Dalam umpama terkandung kearifan dan renungan, seseorang tidak secara langsung merasa menjadi objek, namun perlahan menyadari arah dan maksud pesan  tersebut. Perumpamaan dimaksudkan agar kita mengambil i’tibar (hikmah) dari suatu peristiwa. (QS. 29:43,17:89). 
Dalam al-Quran, Allah SWT. memberikan banyak perumpamaan.  Menjadikan nyamuk sebagai umpama (QS.2:26) yang berkaitan dengan kelemahan berhala (QS.22:73). Kebenaran seperti air dan logam murni, kebatilan laksana buih air dan tahi logam (QS.13:17). 
Cahaya Allah ibarat lobang yang tidak tembus (misykat) di dalamnya ada pelita besar (QS.24:35). Berinfak  di jalan Allah bagaikan sebutir biji yang tumbuh tujuh tangkai (QS.2:161) dan berinfak dengan riya tak ubahnya debu di atas batu licin (QS.2:265). 
Begitu juga orang berilmu tapi tidak mengamalkan disamakan dengan keledai (QS.62:5).  Masih banyak perumpamaan lain, meskipun kita seringkali tidak pandai mengambil pelajaran. 
Perumpamaan yang sangat menarik adalah seorang Mukmin itu laksana pohon yang baik (QS.14:24-25).  Kalimatan thoyyibah (kalimat yang baik) laksana pohon yang baik (syajaratun thoyyibah). Kalimat yang baik itu adalah laa ilaha illahllah(syahadat).  
Dalam Tafsir Jaami’ul Bayan, Ibnu Jarir Ath-Thabari juga menjelaskan kalimatan thoyyibah adalah persaksian tiada tuhan selain Allah, dan  syajarotun toyyibahadalah seorang Mukmin, ashluha tsabitun artinya laa ilaha illallah yang tertanam di dalam hati seorang Mukmin, wa far’uha fis-samaai yakni amal perbuatannya akan diangkat ke langit. 
Jika kita renungkan ayat di atas, indikator pohon yang baik atau berkualitas ada tiga hal: Pertama, ashluha tsabitun (akarnya menghujam ke perut bumi). Akar yang kuat menjadi dasar dan tumpuan tumbuhnya pohon yang besar. 
Di sinilah pentingnya peran sang penanam yang ikhlas dan sungguh-sungguh, berkorban tanaga, pikiran dan membutuhkan waktu yang cukup lama.  Semakin dalam akarnya, maka semakin kuat pula pohon itu. Tidak mudah tumbang walau dihantam badai. Akar ibarat akidah tauhid (iman) yang tertanam di dalam lubuk hati sanubari seorang mukmin. 
Jika akidahnya kuat, maka ia mampu menghadapi cobaan dan godaan hidup seberat apapun.  Akidah tauhid harus ditanamkan oleh orang tua dan guru kepada anak sejak dini. Peran keduanya sebagai pendidik  sangat penting agar akar akidah anak menghujam ke lubuk hati sanubari. (QS.31:13).
Kedua, far’uha fis-samai (dahannya menjulang ke langit). Pohon yang sudah berurat berakar, akan menumbuhkan batang yang besar, dahan dan ranting yang banyak serta berdaun lebat.   Ia akan membagikan oksigen yang bersih dan kesejukan bagi manusia. Hijau dan menyejukkan. 
Inilah ibarat seorang Mukmin yang taat dalam menjalankan syariat Islam, baik dalam ibadah ritual maupun sosial (muamalah). Akidah (iman) yang kuat harus tampak pada kepatuhan dalam menjalankan ibadah ketika menjalankan aktivitas sehari-hari.   
Ketiga, tu’tii ukulaha kulla hiin (berbuah setiap waktu). Pohon yang baik tidak hanya berakar kuat dan berdahan besar, tapi juga berbuah banyak dan enak. Bukan hanya pada musimnya, tapi di setiap musim tiada henti. Pohon berbuah  menguntungkan pemiliknya dan orang lain. Semakin bagus kualitasnya, semakin tinggi pula harganya. 
Inilah perumpamaan Mukmin yang berakhlak karimah. Akidah dan syariat yang kuat dan benar mestilah berbuah akhlak mulia (karakter islami). “Sebaik-baik keislaman seseorang adalah yang terbaik akhlakhnya”. (HR. At-Turmudzi).  
Akhlak karimah inilah yang mulai pudar dari sebagian anak-anak, orang tua, pemimpin, politisi dan pejabat negara kita.  Pendidikan karakter hanya berhasil  jika ada model. Dalam sejarah, tidak ada yang berhasil menjadi model kecuali Nabi Muhammad SAW. (QS.33:21). 
Orang tua di rumah dan guru di sekolah harus menjadi pilar utama dan bertanggung jawab dalam menanamkan akidah, menjalankan syariat dan teladan dalam akhlak karimah. Insya Allah, anak-anak kita akan menjadi “pohon yang baik”. Amin. Allahu a’lam bish-shawab. (republika)