Rabu, 12 Agustus 2009

X. SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI

A. Pengertian Politik Islam
Dalam term keislaman politik identik dengan siasah. Secara etimologis siasah artinya mengatur, aturan, dan keteraturan. Fikih siasah adalah hukum Islam yang mengatur system kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti kebijkan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Garis-garis besar siasah Islam meliputi tiga aspek:
1. Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam).
2. Siasah Daoliyyah (Hukum politik yang mengatur hubungan antara satu negara dengan negara yang lain).
3. Siasah Maliyyah (Hukum politik yang mengatur sistem ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi menurut siasah Islam ada pada Allah. Kedaulatan yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat dalam konsep Islam berada di tangan Tuhan. Gambaran kekuasaan dan kehendak Tuhan tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul. Oleh karena itu, penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaannya itu dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan al-Qur’an.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Politik dalam Islam
Prinsip-prinsip dasar siasah dalam Islam meliputi antara lain:
1. al-Musyawarah
a. Pembahasan bersama
b. Tujuan bersama yaitu untuk mencapai suatu keputusan
c. Keputusan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama.

2. al-‘Adalah (keadilan)
3. al-Musawah (persamaan)
4. al-Hurriyyah (kemerdekaan)
5. Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat (A. Djazuli, 2001: 15).

C. Demokrasi dalam Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Di dalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’) dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan masyarakat muslim (John L. Esposito & John O’Voll, 1999:33). Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura/42:28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, “perwakilan rakyat” dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura’). Dalam bidang politik, ummat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. (John L. Esposito, 1991:149).
Di samping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yaitu konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Namun hampir sepanjang sejarah Islam konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan ummat Islam. Namun dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah (Humidullah/1870:130). Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas (John L. Esposito & John O. Voll, 1999:34).
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yaitu ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Musyawarah, konsensus dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di sunia kontemporer (John L. Esposito & John O. Voll, 1999:36).

D. Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Prinsip-prinsip hukum internasional dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat.
2. Menjaga kehormatan dan integrasi nasional masing-masing Negara.
3. Keadilan universal
4. Menjaga perdamaian abadi
5. Menjaga kenetralan Negara-negara lain, serta larangan terhadap eksploitasi dan imperialisme.
6. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di Negara lain.
7. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral.
8. Menjaga kehormatan dan hubungan internasional
9. Persamaan keadilan untuk para penyerang.

E. Kontribusi Ummat Islam terhadap Kehidupan Politik di Indonesia
Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik teah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis berbasis ummat Islam dan kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-tokoh politik Islam dan ummat Islam terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejak awal proses kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan hingga sekarang era reformasi.
Berkaitan dengan keutuhan Negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan ummat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, ummat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila kesatu dari Pancasila, yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemeluknya.”
Ummat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam; Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama (Kuntowijiyo, 1997: 80).

IX. KEBUDAYAAN ISLAM

A. Pengertian Kebudayaan Islam

Secara garis besarnya definisi kebudayaan sebanyak itu dikelompokkan ke dalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang masing-masing pembuat definisi.
Kelompok pertama, menggunakan pendekatan deskriptip dengan menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya seperti definisi yang dipakai oleh Tylor bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang amat kompleks meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.
Kelompok kedua, menggunakan pendekatan histories dengan menekankan pada warisan sosial dan tradisi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Pork dan Burgess yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah sejumlah totalitas dan organisasi serta warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
Kelompok ketiga, menggunakan pendekatan normatif seperti definisi yang dipakai oleh Rolph Linton (Linton/1945:27) yang menegaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kelompok keempat, menggunakan pendekatan psikologi yang diantaranya menekankan pada aspek penyesuaian diri (adjustment) dan proses belajar seperti definisi yang dipakai oleh Kluckhon yang menegaskan bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses suatu masyarakat.
Kelompok kelima, menggunakan pendekatan struktural dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Turney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang material maupun nonmaterial.
Kelompok keenam, menggunakan pendekatan genetik yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan simbol. Termasuk dalam kelompok ini adalah definisi yang dibuat oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian akhir individu dan masyarakat.
Dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan sesuatu persoalan yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dalam diri manusia. Artinya bahwa manusialah sebagai pencipta kebudayaan itu. Dari penjelasan di atas, kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Secara umum kebudayaan adalah istilah yang menunjukkan segala hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan merupakan wadah, di mana hakikat manusia memperkembangkan diri. Antara hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin hubungan, korelasi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, kebudayaan sering dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tempat, waktu, dan kondisi masyarakat, sehingga lahir suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti kebudayaan Islam, kebudayaan Timur, dan kebudayaan Barat. (Ensiklopedi Indonesia: 1705). Kebudayaan lahir dari olah akal-budi, jiwa atau hati nurani manusia. Bentuk kebudayaan tersebut selalu mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang diyakini, yang dirasa, dan diharapkan memberikan kebaikan dalam hidup. Oleh karena itu, kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan tersebut juga disebut peradaban. Kebudayaan atau peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam disebut kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam ajaran Islam, aktivitas kehidupan manusia dalam bentuk olah akal-budi nuraninya harus dibimbing oleh wahyu. Akal budi nurani manusia memiliki keterbatasan dan dipengaruhi oleh pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun masyarakat. Sekalipun aktivitas akal budi nurani manusia dalam bentuk kebudayaan atau peradaban tersebut diyakini atau diharapkan memberikan kebaikan bagi masyarakat yang melahirkan kebudayaan-peradaban tersebut, dalam pandangan masyarakat lain belum tentu dinilai baik. Oleh karena itu, sejak awal manusia dilahirkan, Allah Yang Maha Tahu akan keterbatasan manusia menurunkan wahyu sebagai pembimbing arah olah akal budi nurani manusia tersebut, agar tidak berkembang dan melahirkan kebudayaan-peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan yang dianggap menguntungkan sekelompok masyarakat tertentu tetapi merugikan sekelompok masyarakat lainnya. Wahyu al-Qur’an sebagai wahyu terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW menjadi petunjuk-pembimbing dan menjaga nilai-nilai universalitas kemanusiaan tersebut sekalipun memberikan toleransi perwujudan kebudayaan-peradaban khusus.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam adalah hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang berlandaskan nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islam.
Kebudayaan itu akan terus bekembang, tidak akan pernah berhenti selama masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas dan kreativitas manusia, baik dalam kontek hubungan dengan sesamanya, maupun dengan alam lingkungannya akan selalu terkait dengan kebudayaan orang lain. Di sini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya dan makhluk sosial yang tidak akan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Allah mengutus para rasul dari jenis manusia dan kaumnya sendiri karena yang akan menjadi sasaran dakwahnya adalah ummat manusia. Oleh sebab itu misi utama kerasulan Muhammad saw. adalah untuk memberikan bimbingan pada ummat manusia agar dalam mengembangkan kebudayaannya tidak melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak.” Artinya Muhammad saw. mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum nabi diutus bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkannya terlepas dari nilai-nilai ketauhidan yang bersifat universal. Landasan pengembangan kebudayaan mereka adalah hawa nafsu.
Mengawali tugas kerasulannya, beliau meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam menyebar diluar jazirah Arab, kemudian tersebar keseluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
Menurut M. Natsir, ada enam sumber kekuatan ajaran Islam. Untuk mencapai suatu kebudayaan bersifat lokal menjadi suatu peradaban manusia yang universal yaitu:
 Menghormati akal. Manusia muslim disuruh menggunakan akalnya untuk mengamati dan memikirkan keadaan alam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyatakan betapa pentingnya pengembangan akal bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini proses ijtihad menjadi penting bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
 Kewajiban menuntut ilmu. Setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.
 Larangan taklid. Setiap orang dilarang mengikuti sesuatu perkara yang ia tidak mempunyai pengetahuan tentang itu meskipun datang dari para leluhurnya.
 Mengambil inisiatif. Setiap muslim dikerahkan untuk mengambil inisiatif keduniaan yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat umum sekalipun bagi mereka yang tidak seagama, serta mengadakan barang-barang kebutuhan yang tidak ada sebelumnya.
 Menggunakan hak-hak keduniaan. Kaum muslimin disuruh mencari ridha Allah atas nikmat yang diterimanya di dunia ini dan menggunakan hak-hak itu sesuai dengan aturan agama.
 Aktualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan nyata kaum muslimin, dianjurkan untuk berhubungan dengan dunia luar, berinteraksi dengan bangsa-bangsa untuk saling bertukar ilmu pengetahuan.

B. Perkembangan Kebudayaan Islam
Perkembangan pemikiran Islam mempunyai sejarah panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi pemikiran di kalangan ummat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab sendiri, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya. Sebab masyarakat Arab pra Islam belum mempunyai sistem pengembangan pemikiran secara sistematis.
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja sistem pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum terselenggara karena ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian isyarat Al-Qur’an sudah cukup jelas meletakkan fondasi yang kokoh terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran, sebagaimana terlihat pada ayat yang pertama diturunkan yaitu suatu perintah untuk membaca dengan nama Allah (QS. Al-Alaq/96:1). Dalam kaitan itu dapat dipahami mengapa proses pendidikan Islam berlangsung di rumah yaitu Darul Arqam. Ketika masyarakat Islam telah terbentuk, maka pendidikan Islam dapat diselenggarakan di masjid. Poses pendidikan pada kedua tempat tersebut dilakukan dalam lingkaran besar yang disebut Halaqah.
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa yaitu masa klasik (650 sampai 1250 M), masa pertengahan (1250 sampai 1800 M) dan masa modern (1800 sampai sekarang).
Pada masa klasik lahir para ulama madzhab seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Malik. Sejalan dengan itu lahir pula para filosof muslim seperti Al-Kindi (801 M), seorang filosuf pertama muslim. Diantara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum muslim hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Selain Al-Kindi, pada abad itu lahir pula para filosuf beasar seperti Al-Rasi (865 M), Al-Farabi (870 M). Mereka dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya lahir pula filosof agung Ibnu Miskawaih (930 M). Pemikrannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibnu Sina (1037 M), Ibnu Bajjah (1138 M), Ibnu Taufail (1147 M) dan Ibnu Rusyd (1126 M).
Pada masa pertengahan yaitu tahun 1250-1800 M. Dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa ini merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari ummat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu dan dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
Sebagian pemikir Islam kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Gazali yang pertama menjauhkan filsafat dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah” (kerancuan filsafat). Tulisan Al-Gazali dijawab oleh Ibnu Rusdi dengan tulisan “Tahafutu Tahaful” (kerancuan di atas kerancuan).
Ini merupakan awal kemunduran ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam. Sejalan dengan perdebatan di kalangan para filosof muslim juga terjadi perdebatan di antara para fuqoha (ahli fikih) dengan para ahli teologi (ahli ilmu kalam). Pemikiran yang berkembang saat itu adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan ilmu dan urusan dunia dengan akhirat. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat kepada para penguasa pemerintahan, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak lagi diikiuti oleh ummatnya.

C. Nilai-Nilai Kebudayaan Islam
Bentuk kebudayaan yang sangat penting dan perlu memperoleh perhatian besar dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan masyarakat akademisi, masyarakat intelektual, yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran intelektual muslim adalah :
1. Berorientasi pada Pengabdian dan Kebenaran Ilahi
Tujuan penciptaan manusia berdasarkan firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, hanyalah untuk beribadah, mengabdi kepada Allah. Karena itu seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan ini harus berorientasi pada pengabdian kepada Allah. Untuk menciptakan nilai pengabdian tersebut, manusia harus bertitik tolak pada kebenaran yang ditunjukkan oleh Allah. Dalam QS. Al-Baqarah: 147, Allah berfirman: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janagan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
2. Berpikir Kritis dan Inovatif
Berpikir kritis adalah berpikir secara obyektif dan analitis, sedangkan berpikir inovatif adalah berpikir ke depan untuk menemukan pemikiran-pemikiran abaru. Berpikir kritis dan inovatif inilah yang telah menghantarkan kemajuan intelektual Islam pada masa keemasannya, golden age, dalam berbagai disiplin ilmu.
3. Bekerja Keras
Manusia adalah makhluk terbaik yang dianugerahi potensi besar dalam bentuk akal-budi, dan seluruh aktivitas kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah tersebut harus difungsikan secara optimal. Karena itu dalam QS. Al-Qashash: 77, Allah memerintahkan manusia berusaha meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dan dalam QS. Yusif: 87, Allah melarang berputus asa akan rahmat yang telah Allah anugerahkan, karena putus asa itu adalah sifat orang kafir.
4. Bersikap Terbuka
Sikap terbuka berarti mau menerima masukan dan kebenaran yang datang dari orang lain, siapapun dia, dan apapun posisinya. Karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memperhatikan substansi perkataan orang dan bukan siapa orang yang mengatakannya. Kemajuan akan lebih mudah dicapai dengan sikap terbuka, serta memanfaatkan pemikiran, dan kemajuan yang dicapai orang lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah.
5. Jujur
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran mutlak diperlukan, baik dalam bentuk pengakuan terhadap kebenaran pemikiran orang lain, maupun dalam bentuk pengakuan akan keberadaan diri pribadi. Kejujuran akan membimbing manusia dalam proses penemuan kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara obyektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang merugikan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan, kebohongan (sikap tidak jujur) merupakan pangkal terjadinya dosa.
6. Adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil menunjukkan sikap yang proporsional dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalan yang berkait dengan banyak pihak yang berkepentingan. Sekalipun sikap adil pada umumnya berkaitan dengan proses peradilan, tetapi adil diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu, dalam QS. An-Nahl: 90, Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.
7. Tanggung Jawab
Tanggungjawab berarti kesediaan menanggung segala resiko atau konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi baik atau buruk. Hal itu bergantung pada substansi perbuatannya. Oleh karena itu, dalam QS. al-Baqarah: 286, Allah mengingatkan, bahwa setiap manusia akan mendapat pahala sebagai balasan (dari kebajikan) yang dilakukannya, dan mendapat siksa sebagai balasan (dari kejahatan) yang dilakukannya.
8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori atau mencemari nilai niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud pengabdian dalam ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, ikhlas dalam niat selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, seperti firman Allah dalam QS. al-Bayyinah: 5.

D. Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam
Masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus (shalat), padahal masjid berfungsi lebih luas. Sejak awal berdirinya masjid di zaman nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Nabi Muhammad saw. mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin, membina sikap dasar kaum muslimin terhadap orang yang berbeda agama dan ras, hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan ummat. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas pun bermunculan justru dari masjid. Masjid Al-Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh, masjid ini mampu memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan merupakan program nyata masjid.
Di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda, sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata di bidang pencerahan keberagamaan ummat Islam, apalagi menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan.
Disekitar tahun 70-an muncul kelompok yang sadar untuk mengembangkan fungsi masjid sebagaimana mestinya, terutama dikalangan kaum intelektual muda, termasuk aktivis masjid. Dimulai dengan pesantren kilat pada awal tahun 1978, pengentasan buta huruf Al-Qur’an tahun 1990-an, gerakan ini berhasil mengentaskan buta huruf Al-Qur’an sekitar 30% anak-anak TK sampai SLTP dan 40% siswa SLTA dan mahasiswa.
Fungsi dan peranan masjid dari waktu ke waktu terus meluas, seiring dengan laju pertumbuhan ummat Islam baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif dan peningkatan jumlah intelektual muslim yang sadar dan peduli terhadap peningkatan kualitas ummat Islam. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya perluasan fungsi masjid.
Konsepsi tentang masjid sejak masa awal (zaman Rasulullah) didirikan hingga sekarang tidak akan pernah berubah. Paradigma yang digunakan adalah Al-Qur’an, maka masjid yang didirikan berdasarkan ketakwaan tidak akan pernah berubah dari tujuan dan misinya seperti dijelaskan Allah dalam Q.S At-Taubah/9:108. Berdasarkan paradigma inilah kita akan berfikir tentang konsep tujuan dan perlakuan terhadap masjid itu memiliki kesamaan. Melalui paradigma inilah kita akan mampu mengontrol kesucian masjid dari pemikiran yang dikhotomis.
Dalam syari’at Islam, masjid memiliki dua fungsi utama yaitu; pertama sebagai pusat ibadah ritual dan kedua sebagai pusat ibadah sosial. Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan ummat Islam.

Selasa, 11 Agustus 2009

VIII. MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMMAT

A. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh oleh peradaban maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota Ilahi dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari pada masyarakat komunitas yang masih liar.
Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah saw. yang artinya juga sama dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju), lawan dari masyarakat madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui).
Ada yang menyamakan makna masyarakat madani sama saja dengan Civil Society, tentu saja ada persamaannya, tetapi juga ada perbedaan, keduanya sama jika dilihat dari sudut makna sivis, manusia beradab yang menjunjung tinggi azas persamaan setiap warga walaupun warga itu memiliki perbedaan dalam agama kepercayaan, bahasa dan kebudayaannya. Masyarakat madani zaman rasul dengan Sivil Society dalam zaman modern keduanya berbeda antara lain dari segi pandangan dunianya, seperti diperlihatkan sejarah perkembangannya dari Sivitas Dei (kota Ilahi) ke Sivil Society.
Dunia barat mengalami kegagalan dalam menghadapi pemecahan ketegangan antara pusat keagamaan (gereja) yang sarat dengan perbuatan magis religius, upacara-upacara ritual, takhyul dan lain-lainnya dengan kaisr yang penuh dengan martabat duniawi (kekuasaan) kekuatan dan benda-benda kehidupan sekuler, keduanya dengan Herarchi yang sentralistik (gereja dan kerajaan) dengan arus reformasi di sekitarnya berakhir pada jalan buntu (Teori Dua Pandang) pimpinan gereja dengan masalah kerohaniannya dan kaisar dengan urusan kekuasaan dunianya, kebuntuan ini melahirkan Sivil Society yang membebaskan diri dari kekuatan pengaruh gereja dan tidak merasa tertekan oleh kekuasaan kaisar (Monarki Obsulut). Mereka sebagai warga masyarakat sipil membangun solidaritas umum yang disepakati bersama dalam kehidupan bersama sebagai warga Civis. Jalan buntu itulah melahirkan Sivil Society. Di negeri barat sesudah Revolusi Prancis tahun 1784 yang bertumpu dan bertindak pada sekularisasi (seculerisme) yaitu penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cita kenasyarakatan dan bersandar pada etika Hedonisme yaitu kewajiban yang bersendi pada benda keduniaan semata-mata. Jadi secara jelas menunjukkan bahwa Civil Society di negara barat itu berinduk pada sekularisme dan sekulerisasi segala nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Islam memiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan kondisi masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep ajaran spiritualis (individual) semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena menyandang ajaran pada semua aspek kehidupan manusia baik vertikal maupun horizontal.

B. Karakteristik Masyarakat Madani
Secara umum masyarakat yang beradab berciri; kemanusiaan, saling menghargai sesama manusia, sebagai makhluk Ilahi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik, memiliki berbagai perbedaan, akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang demokratis, pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilindungi oleh sesama warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Masyarakat ideal menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup dengan damai dan tenteram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an kondisi masyarakat seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibatun Warabbun Gafur.” Negara yang baik, yang berada dalam lindungan ampunan-Nya. Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Nabi Muhammad saw. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana masyarakatnya memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan Rasulullah saw. Hidup dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan hidupnya.
Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Karena itu dalam sejarah filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam dikenal istilah Madinah atau polis yang berarti kota yaitu masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani yang menjadi sentral idealisme yang diharapkan oleh masyarakat seperti yang tercantum dalam QS. Saba’/34:15. Masyarakat yang sejahtera, bahagia itulah yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi ummat Islam dimana pun dan yang hidup di abad mana pun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik dan sejahtera, bertaqwa kepada Allah swt.
Piagam Madinah sebagai rujukan pembinaan masyarakat madani, yang merupakan perjanjian antara Rasul beserta ummat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus dan khazraj yang beragama watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas khusus yaitu; berTuhan, damai, tolong menolong, toleran, keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial, berpandangan tinggi dan berakhlak mulia.

C. Peranan Ummat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam kontek masyarakat Indonesia, di mana ummat Islam adalah mayoritas, peranan ummat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh ummat Islam. Peranan ummat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, social-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang kepada ummat Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi ummat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun ummat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika ummat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, psti bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

D. Etos Kerja Islami
Etos kerja adalah totalitas kepribadian diri dan cara mengekspresika, memandang, meyakini, dan memberikan makna tentang sesuatu pekerjaan yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (Toto Tasmara: 20). Etos kerja juga berarti percaya, tekun, dan senang pada pekerjaan yang sedang dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai buruh kasar atau memimpin suatu perusahaan besar (M. Yunan Nasution: 147). Etos kerja mencerminkan nilai kerohanian yang membentuk kepribadian dan terekpresikan melalui sikap dan perilaku produktif. Bagi ummat Islam, sifat etos kerjanya adalah etos kerja Islami, yang dilandasi oleh ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik, karena melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah (QS. Ali-Imran: 110). Nilai kebaikan ummat Islam tersebut dapat terealisasi apabila keimanannya menghasilkan amal yang shalih. Oleh karena itu, Allah akan menilai, siapa yang paling baik amalnya (QS. Hud: 7; QS. Mulk: 2). Islam memotivasi ummatnya untuk berkompetisi dalam kebaikan, memiliki etos kerja yang baik, yang menentukan nilai hidup di dunia dan konsekuensi di akhirat (QS. al-Baqarah: 148). Hubungan etos kerja dengan masalah eskatologi, balasan di akhirat memberikan kestabilan (istiqamah) pada setiap pribadi akan kepastian hasil kebaikan dari amal baik yang dilakukan, yang tidak bergantung pada kerelativan manusia.
Menurut Toto Tasmara, etos kerja muslim memiliki cirri-ciri (1) mengahrgai waktu; (2) memiliki moralitas yang ikhlas; (3) memiliki kejujuran; (4) memiliki komitmen; (5) istiqamah, kuat pendirian; (6) disiplin; (7) konsekuen dan berani menghadapi tantangan; (8) memiliki sikap percaya diri; (9) kreatif; (10) bertanggung jawab; (11) bahagia karena melayani; (12) memiliki harga diri; (13) memiliki jiwa kepemimpinan; (14) berorientasi ke masa depan; (15) hidup hemat dan efisien; (16) meiliki jiwa wiraswasta; (17) memiliki instink berkompetisi; (18) mandiri; (19) berkemauan belajar dan mencari ilmu; (20) memiliki semangat perantauan; (21) memperhatikan kesehatan dan gizi; (22) tangguh dan pantang menyerah; (23) berorientasi pada produktivitas; (24) memperkaya jaringan silaturahmi; dan (25) memiliki semangat perubahan (Toto Tasmara; 73).

E. Filantropi Islam: Zakat dan Wakaf
1. Zakat

Zakat merupakan dasar prinsipiil untuk menegakkan struktur social Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan benar, diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping tu, dengan pengelolaan zakat yang professional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukum zakat fitrah wajib atas setiap orang Islam, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka (Yusuf al-Qardhawi; 162).
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan ummat Islam sendiri, dari golongan ummat yang kaya kepada golongan ummat yang msikin, agar tidak terjadi jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin, serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya, tentu harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolannya. Pengelolaan zakat yang berdasar pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik dan jelas, akan meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23 Setember 1999 Presiden RI, B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Thun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang zakat tersebut, Menteri Agama RI menetapkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaannya, apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh ‘amil zakat dan political will dari pemerintah.

2. Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik beberapa Negara misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh. Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha, yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, naka wakaf sebagai salah satu sarana untuk wewujudkan kesejahtraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi ummat, maka perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan Bangladesh, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan ummat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi nasyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah berkembang, menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf. Sayangnya pemahaman ummat Islam di Indonesia terhadap wakaf selama berabad-abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hanyalah tanah nilik, yaitu diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda bergerak khususnya uang baru dibicarakan oleh ummat Islam di Indonesia sekitar akhir tahun 2001. Alhamdulillah pada tanggal 1 Mei 2002, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut :
a. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, maka penerapan wakaf uang di Indonesia sudah tidak bermasalah lag, apabila dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf uang sudah diatur tersendiri. Yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan wakaf khususnya wakaf uang di Indonesia, karena wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka Undang-undang wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya ummat Islam menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf (mauquf bih) yang diatur dalam Undang-undang Tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamantkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah melkukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.