Rabu, 12 Agustus 2009

X. SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI

A. Pengertian Politik Islam
Dalam term keislaman politik identik dengan siasah. Secara etimologis siasah artinya mengatur, aturan, dan keteraturan. Fikih siasah adalah hukum Islam yang mengatur system kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti kebijkan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Garis-garis besar siasah Islam meliputi tiga aspek:
1. Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam).
2. Siasah Daoliyyah (Hukum politik yang mengatur hubungan antara satu negara dengan negara yang lain).
3. Siasah Maliyyah (Hukum politik yang mengatur sistem ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi menurut siasah Islam ada pada Allah. Kedaulatan yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat dalam konsep Islam berada di tangan Tuhan. Gambaran kekuasaan dan kehendak Tuhan tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul. Oleh karena itu, penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaannya itu dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan al-Qur’an.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Politik dalam Islam
Prinsip-prinsip dasar siasah dalam Islam meliputi antara lain:
1. al-Musyawarah
a. Pembahasan bersama
b. Tujuan bersama yaitu untuk mencapai suatu keputusan
c. Keputusan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama.

2. al-‘Adalah (keadilan)
3. al-Musawah (persamaan)
4. al-Hurriyyah (kemerdekaan)
5. Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat (A. Djazuli, 2001: 15).

C. Demokrasi dalam Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Di dalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’) dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan masyarakat muslim (John L. Esposito & John O’Voll, 1999:33). Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura/42:28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, “perwakilan rakyat” dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura’). Dalam bidang politik, ummat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. (John L. Esposito, 1991:149).
Di samping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yaitu konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Namun hampir sepanjang sejarah Islam konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan ummat Islam. Namun dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah (Humidullah/1870:130). Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas (John L. Esposito & John O. Voll, 1999:34).
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yaitu ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Musyawarah, konsensus dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di sunia kontemporer (John L. Esposito & John O. Voll, 1999:36).

D. Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Prinsip-prinsip hukum internasional dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat.
2. Menjaga kehormatan dan integrasi nasional masing-masing Negara.
3. Keadilan universal
4. Menjaga perdamaian abadi
5. Menjaga kenetralan Negara-negara lain, serta larangan terhadap eksploitasi dan imperialisme.
6. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di Negara lain.
7. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral.
8. Menjaga kehormatan dan hubungan internasional
9. Persamaan keadilan untuk para penyerang.

E. Kontribusi Ummat Islam terhadap Kehidupan Politik di Indonesia
Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik teah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis berbasis ummat Islam dan kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-tokoh politik Islam dan ummat Islam terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejak awal proses kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan hingga sekarang era reformasi.
Berkaitan dengan keutuhan Negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan ummat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, ummat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila kesatu dari Pancasila, yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemeluknya.”
Ummat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam; Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama (Kuntowijiyo, 1997: 80).

Tidak ada komentar: