Minggu, 26 Juli 2009

VII. ISLAM DAN PLURALITAS

A. Pluralitas Dalam Ajaran Islam

1. Pengertian

Kata pluralitas secara generik mengandung makna kejamakan atau kemajemukan. Pluralitas merupakan salah satu tema diskursus intelektual yang sangat intens diperbincangkan. Sebagian pandangan menunjukkan; bahwa pluralitas dipahami sebagai faktor yang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, baik dilatarbelakangi oleh pemahaman dan kepentingan keagamaan serta supermasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan inilah yang kemudian secara ekstrim menolak pluralitas-pluralisme dan menitikberatkan pada keseragaman mutlak. Pandangan yang demikian dapat dilihat pada totaliterisme Barat yang diwakili oleh Uni Soviet. Pandangan lainnya adalah, pandangan yang menerima secara mutlak gagasan pluralitas-pluralisme. Pandangan ini menganggap pluralitas sebagai suatu bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikitpun. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan liberalisme Barat. Lalu bagaimana dengan pandangan Islam tentang pluralitas-pluralisme, apakah Islam sejalan dengan pandangan yang pertama, ataukah yang kedua, dan ataukah ia berbeda dengan keduanya dan memiliki pandangan tersendiri?
Diskursus lain yang juga memperoleh perhatian serius oleh para pemikir kekinian, sebagai perkembangan lebih lanjut dari kajian pluralitas-pluralisme- adalah pengkajian tentang multikultural-multikulturalisme. Kajian multikultural ini tampaknya menarik, disebabkan oleh munculnya pemikiran kritis sosial yang mencoba mempertanyakan kembali nilai kemanusiaan dalam setiap praktek hidup keberagamaan. Pertanyaan kritis ini muncul sebagai kritik terhadap fenomena keberagamaan di tengah perubahan sosial ekonomi dan politik, yang kemudian lebih banyak tidak menguntungkan kelompok masyarakat kecil. Ini salah satu bentuk kritik Nietzschian yang kemudian memunculkan tesis kematian Tuhan dan kemudian mendorong munculnya gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin.
Pengkajian terhadap multikultural-multikulturalisme juga lahir dari fakta tentang perbedaan masyarakat yang bersumber dari tradisi, bahasa, pandangan hidup, keberagamaan, etnis, budaya, latar belakang kehidupan. Fenomena yang demikian memunculkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda dan sering kali menjadi pemicu munculnya konflik-konflik sosial yang tajam, baik konflik sosial internal teritoril kesatuan negara bangsa dan internasional.
Konflik sosial-politik yang tajam dan sering kali dibarengi dengan kekerasan ini, diakibatkan oleh sikap arogansi manusia yang cenderung memandang diri lebih baik, lebih benar, lebih berkuasa dan lebih berhak berkembang untuk menguasai bumi dibanding pihak lain. Tegasnya, gejala sosial-politik menjadi dasar pentingnya pengkajian multikultural, untuk kemudian dikembangkan dan dijadikan sebagai jalan untuk menjawab dan memberikan solusi dari konflik-konflik sosial-politik baik dalam skala nasional maupun internasional.

2. Implikasi Tauhid Terhadap Pluralitas Agama
Alquran berbicara tentang fenomena pluralitas agama-agama dan multikultural. Alquran adalah kitab samawi yang diturunkan terakhir dan diwahyukan kepada penutup para Nabi dan rasul yaitu Muhammad saw. Turunnya Alquran berfungsi sebagai mushaddiq (pembenaran) bagi kitab-kitab terdahulu. Dengan demikian, kedatangan Alquran bukan sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya tetapi lebih sebagai pembenaran tentang inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul dan nabi sebelumnya. Di sisi lain, Alquran juga berfungsi sebagai muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi) atas penyimpangan yang terjadi dari penganut kitab-kitab tersebut. Dari sini dapat ditegaskan bahwa esensi dan subtansi ajaran Alquran sama dengan ajaran kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelumnya, seperti Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil dan suhuf-suhuf.
Esensi ajarannya adalah tauhid. Para nabi dan rasul Allah yang diutus kepada ummat manusia, semuanya membawa ajaran tauhid, termasuk inti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. seperti termuat di dalam Alquran. Itulah sebabnya Nabi Muhammad diperintahkan untuk beriman kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah sebelum Alquran, seperti ditegaskan dalam QS. Asyuura (42): 15: “…Katakanlah (Muhammad): Aku beriman kepada semua kitab yang telah diturunkan oleh Allah….”
Di awal kehidupan Nabi Muhammad saw. hingga akhir kehidupannya benar-benar menyakini bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu adalah berasal dari Allah dan yang menyampaikannya adalah para Nabi dan Rasul Allah. Dengan demikian, tidak heran jika Muhammad sebagai nabi terakhir mengakui kenabian dan kerasulan Ibrahim as., Musa as., Isa as., Nuh as., dan para nabi lainnya. Penyikapan yang demikian semakin kuat pada diri Nabi Muhammad setelah tampak bahwa para pengikut kitab-kitab suci terdahulu ada yang beriman kepada Alquran dan kepada kenabiannya, seperti Waraqa bin Naufal yang telah mengetahui akan datangnya seorang nabi yang ciri-cirinya seperti yang ia baca dalam Kitab Injil.
Fenomena Waraqa ini merupakan salah satu bukti bahwa kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang membawa kitab Alquran sudah menjadi harapan dan keinginan sebagian orang yang telah memiliki kitab sebelumnya. Hal ini ditegaskan di dalam QS. Asy-Syu’ara (26): 192-197: “Sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oeh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hati Muhammad agar menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”
Jika ayat di atas dihubungkan dengan kandungan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya dalam surah yang sama, maka dapat dijelaskan bahwa ketika Alquran disampaikan kepada masyarakat Makkah -sebagai kelompok manusia yang pertama bersentuhan dengan Alquran-, maka sebagian mereka menyakini kebenaran Alquran dan kebanyakan mereka menjadi kelompok kontra Alquran. Bahkan sikap kontra mereka sangat cepat datangnya. Fenomena yang demikian itu tidak saja dialami oleh Muhammad saw ketika Alquran disampaikannya, tetapi setiap nabi dan rasul yang diutus Allah menyampaikan risalahnya maka manusia yang menjadi obyek risalah tersebut akan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok yang menerima risalah dan kelompok kontra risalah. Keterangan ini dapat dilihat dalam QS. 26: 69-191.
Kandungan ayat-ayat pada suarh 26 tersebut berisi kisah Nabi Ibrahim, Nabi Nuh as., Nabi Hud as., Nabi Shaleh as., Nabi Nabi Luth as., dan Nabi Syuaib as. dengan kaum mereka masing-masing. Sebagian kaum para nabi tersebut menjadi kelompok pengikut risalah rasul mereka masing-masing dan kebanyakan kaum tersebut menjadi kelompok kontra risalah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap ummat yang disampaikan padanya risalah Tuhan melalui nabi dan rasul yang diutus kepada mereka, maka ummat tersebut akan terpecah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok pengikut risalah dan kelompok kontra risalah. Dalam konteks ini QS.al-Baqarah (2): 213: menjelaskan bahwa:
“Pada awalnya manusia adalah ummat yang satu. Lalu Allah mengutus para Nabi-Nya kepada mereka sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan lewat kitab yang berisi kebenaran. Dengan kitab itu pulalah diputuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan. Namun ummat tersebut berselisih tentang kitab yang diturunkan kepada mereka, hanya karena keingkaran di antara mereka. Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman kepada kebenaran kitab yang diturunkan kepada mereka, berupa jalan lurus dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka.”
Di sisi lain, dapat pula dikatakan bahwa keingkaran mereka terhadap kitab yang diturunkan kepada mereka disebabkan karena kecintaan mereka terhadap dunia. Hal ini dipahami dari perpautan ayat 213 dengan ayat 212 dalam surah yang sama. Di mana ayat 212 menegaskan bahwa kehidupan dunia bagi kelompok sungguh sangat indah dan mereka memandang hina orang-orang beriman …
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa para nabi dan rasul yang diutus berhadap-hadapan dengan pluralitas sosial-budaya dan sosial politik dan tentunya pluralitas agama. Jadi ketika para nabi dan rasul diutus kepada suatu ummat, ummat tersebut tidaklah hampa budaya tetapi padanya hidup dan berkembang pluralitas sosial-budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian dari kelompok ummat tersebut ada yang tetap berusaha berpegang pada ajaran para nabi dan rasulnya dan sebagian lainnya melenceng dari ajaran nabi dan rasulnya. Kelompok pertama inilah yang kemudian senantiasa berharap agar Allah mengutus kembali seorang nabi dan rasul untuk memurnikan ajaran para nabi dan rasul sebelumnya. Ketika Allah pun mengutus nabi dan atau rasul yang baru (dan memang sebelum pengutusannya sering kali telah diinformasikan dalam kitab sebelumnya), maka kelompok inilah yang kemudian beriman dan menyakini rasul tersebut dan kitabnya. Sedang kelompok kedua yakni kelompok kontra risalah, yaitu ketika Allah mengutus nabi dan rasul baru pada mereka, mereka pun bersikap kontra terhadap rasul dan kitab yang baru tersebut.

B. Konsep Ukhuwah dalam Islam

1. Ukhuwah Islamiyah

Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antara dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki satu kondisi atau perasaan yang sama, baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk saling membantu bila pihak lain mengalami kesulitan dan sikap untuk saling membagi kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan kesenangan. Ukhuwah atau persaudaraan berlaku sesama ummat Islam, yang disebut ukhuwah Islamiyah dan berlaku pula pada semua ummat manusia secara universal tanpa membedakan agama, suku dan aspek-aspek kekhususan lainnya, yang disebut ukhuwah Insaniyah.
Persaudaraan sesama muslim, berarti saling menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi penghalang untuk saling membantu atau menolong karena di antara mereka terikat oleh satu keyakinan dan jalan hidup, yaitu Islam. Agama Islam memberikan petunjuk yang jelas untuk menjaga agar persaudaraan sesama muslim itu dapat terjalin dengan kokoh sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat/49:10-12.

2. Ukhuwah Insaniyah
Konsep persaudaraan sesama manusia, ukhuwah insaniyah dilandasi oleh ajaran bahwa semua ummat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun Allah memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup berdasarkan rasionya. Karena itu sejak awal penciptaan, Allah tidak menetapkan manusia sebagai satu ummat, padahal Allah bisa bila mau. Itulah fitrah manusia (QS. Al-Maidah/5:48).
Prinsip kebebasan itu menghalangi pemaksaan suatu agama oleh otoritas manusia manapun, bahkan rasul pun dilarang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus/10:99 dan QS. Al-Baqarah/2:256.
Perbedaan agama yang terjadi di antara ummat manusia merupakan konsekuensi dari kebebasan yang diberikan oleh Allah, maka perbedaan agama itu tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berinteraksi sosial dan saling membantu, sepanjang masih dalam kawasan kemanusiaan.

C. Kebersamaan Ummat Beragama Dalam Kehidupan Sosial

1. Pandangan Agama Islam Terhadap Ummat Non-Islam
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima Islam sebagai agamanya disebut kafir atau nonmuslim. Kata kafir berarti orang yang menolak, yang tidak mau menerima atau menaati aturan Allah yang diwujudkan kepada manusia melalui ajaran Islam. Sikap kufur, penolakan terhadap perintah Allah pertama kali ditunjukkan oleh iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam a.s. (QS. Al-Baqarah/2:34).
Ketika Rasulullah saw. mulai menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat Arab, sebahagian dari mereka ada yang mau menerima dan sebahagiannya menolak. Orang yang menolak ajaran Rasulullah tersebut disebut kafir. Mereka terdiri orang-orang musyrik yang menyembah berhala yang disebut orang Watsani, orang-orang ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani. Diantara orang-orang kafir tersebut ada yang mengganggu, menyakiti dan memusuhi orang Islam dan ada pula hidup rukun bersama orang Islam. Orang kafir yang mengganggu disebut kafir harbi dan orang kafir yang hidup rukun disebut kafir dzimmi, mereka inilah yang mengadakan perjanjian atau menjadi tanggungan orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Dalam konteks negara Islam, mereka wajib membayar jizyah (QS.At-Taubah/9:29).

2. Tanggung Jawab Sosial Ummat Islam
Ummat Islam adala ummat yang terbaik yang diciptakan Allah dalam kehidupan dunia ini (QS. Ali Imran/3:110). Kebaikan ummat Islam bukan sekedar simbolik, karena telah mengikrarkan keyakinan Allah swt. sebagai Tuhannya dan Muhammad saw sebagai Rasulullah, tetapi karena identifikasi sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk menunjukkan komitmennya dalam beribadah kepada Allah. Dalam Al-Qur’an kedua komitmen itu disebut “hablun minallah wa hablun minannaas “.
Bentuk tanggung jawab sosial ummat Islam meliputi berbagai aspek kehidupan, diantaranya adalah:
 Menjalin silaturahmi dengan tetangga.
 Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang wajib maupun yang sunnah dalam bentuk sedekah (QS. Ibrahim/14:7).
 Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah bila ada anggota masyarakat yang meninggal dengan mengantarkan jenazahnya sampai di kubur.
 Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota masyarakat yang memerlukan bantuan.
 Penyusunan sistem sosial yang efektif dan efisien untuk membangun masyarakat, baik mental spiritual maupun fisik material.

3. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar artinya memerintahkan orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar akan efektif apabila orang yang melakukannya juga memberi contoh. Karena itu diperlukan kesiapan secara sistematik dan melibatkan kelompok orang dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara terorganisasi (QS. Ali-Imran/3:104).
Di samping sistem dan sarana pendukung, amar ma’ruf dan nahi munkar juga memerlukan kebijakan dalam bertindak. Karena itu Rasulullah memberikan tiga tingkatan, yaitu: menggunakan tangan atau kekuasaan apabila mampu, menggunakan lisan dan dalam hati apabila langkah pertama dan kedua tidak memungkinkan. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem diantaranya adalah mendirikan masjid, menyelenggarakan pengajian, mendirikan lembaga pendidikan Islam, mendirikan pesantren dan lain-lain.
Sebagai agama yang universal dan komprehensif, Islam mengandung ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan ummat manusia. Islam tidak hanya mengajarkan tentang akidah dan ibadah semata, tetapi Islam juga mengandung ajaran di bidang ipteks dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

Tidak ada komentar: