Sabtu, 25 Juli 2009

IV. KONSEP HUKUM DAN HAM

A. Pengertian Hukum Islam, Ruang Lingkup, dan Tujuannya

1. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya melalui sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadits. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, dimana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud adalah syari’at Islam, fikih Islam dan hukum Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari’at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fikih Islam diterjemahkan dengan Islamic Jusrisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, sedang untuk fikih Islam dipergunakan istilah hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktek sering kali kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Syari’at merupakan landasan fikih, dan fikih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu, seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fikih Islam. Pada pokoknya perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
a. Syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’ah yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman itu.
b. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam Islam. Sedangkan fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
c. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, karena itu berlaku abadi; fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
d. Syari’at hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu, seperti misalnya terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab.
e. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragamannya (H.M. Rasjidi, 1958:403; Asaf A.A. Fyzee, 1955:17).
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah. Ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perombakan dan perubahan secara asasi mengenai hukum, susunan dan tata cara ibadah itu sendiri. Yang mungkin berubah hanyalah pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada yang pokok-pokok saja. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. (Mohammad Daud Ali/1999:49).

2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam tidak membedakan hukum perdata dengan hukum publik seperti halnya hukum barat. Hal ini disebabkan karena menurut hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Dalam hukum Islam yang dibutuhkan hanya bagian-bagiannya saja.
Menurut H. M. Rasyidi bagian hukum Islam adalah :
- munaakahat
- al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah),
- wirasah
- siayar
- muamalat dalam arti khusus
- mukhassamat
- jinayat atau ukubat
(H. M. Rasyidi/1980:25-26)

Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat yang membedakan antara hukum publik dan hukum perdata, maka yang termasuk dalam hukum perdata Islam adalah:
1. Munaakahat, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serat akibat-akibatnya.
2. Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan ini juga disebut fara’id.
3. Muamalat dalam arti khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah :
1. Jinayat, memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud (perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad) maupun jarimah ta’sir (perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya).
2. al-ahkam as-sulthaniyah, yakni hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
3. Siyar, yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
4. Mukhassamat, mengatur peradilan, kehakiman dan hukum acara.
(Mohammad Daud Ali/1999:51-52)
Dari hal-hal yang sudah dikemukakan jelas bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fukaha (para yuris Islam) di masa lampau seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, hukum bunga bank, euthanasia dan lain sebagainya serta berbagai aspek kehidupan lainnya dapat merupakan hukum Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga yaitu ar-ra’yu dengan menggunakan ijtihad.
Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakuakn secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan ummat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslimin dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini oleh Pendidikan Agama Islam yang melaksanakan hukum Islam yang setelah tahun enam puluhan diwajibkan di sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), maraknya kehidupan beragama Islam di Indonesia setelah tahun 1966 terutama dan perkembangan global kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pula oleh sikap pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah, misalnya dalam program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia seperti Hazairan dan Hasbi As-Shiddiqie, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fikih Islam dengan pembentukan fikih Indonesia (1962). Syarifuddin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam. Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hukum Islam dalam pinjam-meminjam, jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.
Kontribusi ummat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, misalnya
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
 UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama;
 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam;
 UU Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; dan
 UU Republik Indonesia Tahun 1999 tentang penyelenggaraan zakat.

3. Tujuan Hukum Islam
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka serta mengarahkan kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq Al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam yang kemudian disepakati oleh para ahli hukum Islam, yaitu :

a. Memelihara agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk lain dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentu hati nurani manusia. Agama Islam harus terpeliahara dari ancaman orang-orang yang akan merusak akidah, syari’ah dan akhlak atau mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan paham atau aliran yang batil. Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah/2:256).
b. Memelihara jiwa
Menurut hukum Islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
c. Memelihara akal
Menurut hukum Islam seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akalnya manusia dapat memahami wahyu Allah baik yang terdapat dalam kitab suci maupun wahyu Allah yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah. Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu, pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam melarang orang meminum-minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamar dan memberi hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal (QS. al-Maidah/5:90).
d. Memelihara keturunan
Dalam hukum Islam, memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Maka dalam hukum Islam, untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan Islam yang ada dalam al-Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan. Dalam al-Qur’an hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan disebutkan secara tegas dan rinci seperti larangan-larangan perkawinan. Hal ini dijelaskan dalam QS. an-Nisa’/4:23.
e. Memelihara harta
Menurut hukum Islam harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya, untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di bumi (makhluk yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal artinya sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena pemilikan atas suatu benda hanya ada pada Allah, namun karena diperlukan adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik seseorang atas suatu benda diakui dengan pengertian bahwa hak milik itu harus diperoleh secara halal dan berfungsi sosial.
(Anwar Haryono/1968:140).
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang bersifat primer, sekunder maupun tersier (Juhaya S. Praja/1988:196). Oleh karena itu, apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.

B. Hak Asasi Manusia Menurut Islam
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandangan Islam dan Barat. Hak asasi manusia menurut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia menurut pandangan Barat semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan demikian manusia sangat sipentingkan. Dalam hubungan ini, A.K Brohi menyatakan: “Berbeda dengan pendekatan Barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris (Altaf Gauhar, 1983:198)
Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, maka di dalam Islam melalui firman-Nya, Allahlah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Di sinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola pemikran Barat dengan hak-hak asasi menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu. (Mohammad Daud Ali, 1995: 304).
Dari uraian tersebut di atas, sepintas lalu nampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep Islam seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hukum-Nya. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah (Altaf Gauhar, 1982:204). Oleh karena itu, hak asasi manusia adalah hak-hak itu dilandasi kewajiban azasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.
Kewajiban yang diperintahkan kepada kepada manusia dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu huquuqullah dan huquuqul ‘Ibad. Huquuqullah (hak-hak Allah) adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah swt. yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huquuqul ‘ibad (hak-hak manusia) adalah merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, tetapi hak-hak Allah adalah bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya (Syaukat Husain, 1996:54).

C. Sumber Hukum Islam
Menurut al-Qur’an surat an-Nisa’/4:59, setiap muslim wajib menaati kemauan atau kehendak Allah, rasul dan ulil amri (penguasa). Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut kini tertulis dalam al-Qur’an, kehendak Rasulullah terhimpun dalam kitab-kitab hadits, kehendak penguasa termaktub dalam kitab-kitab fikih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi Muhammad memuji dengan menanyakan sumber hukum yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’az bahwa dia akan menggunakan al-Qur’an.
Jawaban itu kemudian disusul oleh nabi Muhammad dengan pertanyaan berikutnya: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam al-Qur’an bagaimana?” Mu’az menjawab: Saya akan mencarinya dalam sunnah nabi Muhammad.” Kemudian nabi bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam sunnah nabi Muhammad, bagaimana?” Kemudian Mu’az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu.” Nabi sangat senang atas jawaban Mu’az itu dan berkata: “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya.” (H.M. Rasyidi/1980:456)
Dari hadits yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan bahwa hukum Islam ada tiga, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini dalam keputusan hukum Islam diistilahkan dengan al-ra’yu yakni pendapat seseorang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia dalam segala kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan al-ra’yu merupakan sumber ketiga atau sumber pengembangan.

1. Al-Qur’an
Sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Wahyu Allah itu diturunkan dalam bahasa Arab dan secara autentik terhimpun dalam mushap al-Qur’an.
Kata al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan atau yang dibaca. Dalam ini terkandung makna bahwa wahyu Allah yang diturunkan secara lisan ini membuka kemungkinan untuk ditulis dan dikumpulkan sehingga menjadi kitab yang dapat dibaca manusia. Al-Qur’an adalah kitab suci yang demikian masyhur telah dikemukakan berbagai Ulama Tafsir, diantaranya :
1. Dr. Dawud Al-Aththar (1979), menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafadz (lisan) maka serta gaya bahasa (usulan)-nya yang termaktub dalam mushaf yang dinukil darinya secara mutawatir.
2. Tim penerjemah/penafsir al-Qur’an :
“Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.”
(Al-Qur’an dan terjemahnya; hal.15, th. 1971)
Al-Qur’an sebagai sumber aqidah, norma dan nilai, mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
1) Pokok-pokok keyakinan atau iman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari kiamat. Dari pokok-pokok yang terkandung dalam al-Qur’an ini lahirlah ilmu tauhid Theology Islam).
2) Pokok-pokok peraturan hukum, yaitu garis-garis besar aturan tentang hubungan dengan Allah, antara manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan syari’at, hukum dan ilmu fikhi.
3) Pokok-pokok dan aturan tingkah laku atau nilai-nilai dalam etika tingkah laku.
4) Petunjuk dasar tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan eksistensi dan kebesaran Tuhan sebagai pencipta. Petunjuk dasar ini merupakan isyarat-isyarat ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan.
5) Kisah-kisah para nabi dan ummat terdahulu.
6) Informasi tentang alam ghaib seperti adanya jin, kiamat, surga dan neraka.
Secara umum al-Qur’an membawa dua fungsi utama yaitu sebagai mukjizat dan pedoman dasar ajaran Islam. Mukjizat menurut bahasa berarti melemahkan, sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia mukjizat artinya kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Al-Qur’an sebagai mukjizat menjadi bukti kebenaran Muhammad selaku utusan Allah yang membawa misi universal, risalah akhir dan syari’ah yang sempurna bagi manusia. Untuk itu Allah menurunkan dengan bahasa kandungan makna, hukum dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya unsur-unsur mukjizat menjadi dalil atau argumentasi yang mampu melemahkan segala argumen dan mematahkan segala dalil yang dibuat manusia untuk mengingkari kebenaran Rasulullah saw. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah/2:23 yang artinya :
“ Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
Tantangan tersebut berlaku sejak diturunkannya dahulu, sekarang hingga masa yang akan datang. Allah sendiri memberikan garansi bahwa siapapun bahkan sekiranya manusia dan jin berserikat membuat al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan mampu membuatnya.(QS. al-Isra’/17:78).
Kemukjizatan al-Qur’an meliputi beberapa aspek :
a. Bahasa al-Qur’an
Keistimewaan bahasa al-Qur’an terletak pada gaya pengungkapannya antara lain kelembutan dalam jalinan huruf dan kata dengan lainnya. Susunan huruf-huruf kata-kata al-Qur’an terajut secara teratur sehingga menjelma menjadi ayat-ayat yang indah untuk dibaca dan diucapkan. Keindahan bahasa al-Qur’an ini menjadikannya mukjizat sehingga apabila ada kata-kata manusia yang disisipkan kedalamnya, maka akan rusaklah keindahannya. Karena itu upaya-upaya untuk memalsukan ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah berhasil. Keistimewaan lainnya dari bahasa adalah adanya keserasian bahasa al-Qur’an dengan akal dan perasaan manusia. Al-Qur’an menggabungkan kebenaran dan keindahan sehingga menyentuh akal dan hati manusia sekaligus. (QS. Fush Shilat/41:39).
Selain itu pengubahan kata yang dinamis menjadi bukti lain dari keistimewaan bahasa al-Qur’an. Misalnya gaya al-Qur’an dalam menyajikan perintah dan larangan. Firman Allah: (QS. an-Nisa/4:58, QS. al-Baqarah/2:183, QS. ali-Imran/3:97, QS. al-A’raaf/7:33, QS. al-Mumtahanah/60:89).
b. Sejarah
Kedudukan pesan, proses, dan ketabahan para Rasul Allah mulai dari Adam hingga Isa serta kondisi ummat yang dihadapi mereka, yang tidak dapat ditemukan ilmu sejarah, dikisahkan oleh al-Qur’an. Selain kisah para Rasul Allah, al-Qur’an juga menceritakan kisah-kisah beberapa kaum dan perorangan yang menonjol pada masanya guna menjadi pelajaran bagi kaum sesudahnya. Sejarah kuno tentang peradaban manusia itu tidak mungkin datang kecuali dari Tuhan semesta alam. Itulah sejarah tua yang membuktikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
c. Isyarat tentang ilmu pengetahuan
Al-Qur’an bercerita mengenai hukum-hukum dalam ala mini (sunnatullah) diterangkan berbagai persoalan biologi, farmasi, astronomi dan geografis. Misalnya tentang kejadian alam, QS. al-Anbiya’/21:30. Fungsi matahari sebagai pelita dan bulan cahaya, QS. an-Nur/71:15-16. Bintang yang menembus, QS. ath-Thariq/86:1-3. Fungsi gunung sebagai pasak bagi keseimbangan bumi, QS. an-Naba’/78:6-7. Fungsi sperma dalam kaitan kemungkinan jenis kelamin, QS. an-Najm/53:45-46.
Segala sesuatu di alam ini merupakan refleksi dan manifestasi dari adanya Allah dengan segala sifat kesempurnannya. Karena itu, manusia tidak akan habis-habisnya mengagumi dan mengambil pelajaran dan ibarat yang bermanfaat daripadanya (QS. al-Mulk:3-4 dan QS. ar-Rum:22). Isyarat demi isyarat yang ditunjukkan al-Qur’an mengenai sains telah terbukti shahih, mendapat konfirmasi peneliti ilmu pengetahuan modern.
d. Konsistensi ajaran selama proses penurunan yang panjang al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama kurun waktu 23 tahun. Rentang waktu itu bukanlah waktu yang pendek. Ini menjadi bukti tersendiri akan kebenaran Muhammad selaku Rasulullah. Sekiranya al-Qur’an merupakan pokok pikiran Nabi, maka norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an pastilah saling bertentangan. Demikianlah konsistensi doktrin al-Qur’an selama proses penurunannya menjadi dalil yang meneguhkan keberadaan Muhammad selaku Rasulullah dan kebenaran risalah yang dibawahnya. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam QS. an-Nisa’/4:82.
e. Nabi Muhammad saw. yang Ummi.
Muhammad saw. adalah seorang dari umumnya masyarakat di kala itu yang ummi, yaitu tidak pandai membaca dan menulis. Tetapi beliau dikenal oleh masyarakat luas, lantaran pribadinya yang mulia sehingga menjadi daya tarik yang amat luar biasa. Beliau amat populer karena kejujurannya, dan pada posisi lain juga populer dari segi keummiannya. Amat menakjubkan karena kemukjizatan beliau menjadi personifikasi al-Qur’an (QS. al-Ankabut/29:48).

2. As-Sunnah
Sunnah adalah sumber Islam yang kedua, dipakai sebagai dalil hukum. Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan sunnah, maksudnya adalah dasar ketetapan hukum tersebut ialah keterangan dari Nabi Muhammad saw., berupa ucapan (sunnah qaulyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan keizinannya (sunnah taqririyah).
Sunnah sebagai sumber Islam dan dalil hukum sesudah al-Qur’an, ditetapkan sendiri oleh al-Qur’an (QS. an-Nisa’/4:59, QS. al-Hasyr/59:7). Nabi Muhammad sebagai rasul diberi tugas untuk membacakan dan mengajarkan wahyu kepada manusia serta memberi contoh penerapannya. Posisi as-Sunnah dalam Syariat Islam, dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, as-Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya, al-Qur’an bersifat qath’il wurud, sementara As-Sunnah bersifat zhanni al-wurud.
Sunnah terbagi dua, yaitu Sunnah Tasyri’ dan Ghairu Tasyri’. Semua informasi yang menyangkut Rasulullah itu, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dikelompokkan ke dalam beberapa bagian :
 Bersifat al-hajah al-basyariyah (kebutuhan yang bersifat kemanusiaan) seperti makan dan minum.
 Mencerminkan tradisi pribadi dan masyarakat, seperti urusan pertanian dan pengobatan.
 Pengaturan urusan tertentu seperti bertempur dan berperang.

Tiga persoalan di atas bukan tasyri’ (ghairu tasyri’) dan tidak juga menjadi sumber tasyri’. Karena itu, perilaku nabi dan kebijakan beliau dalam hal-hal di atas tidak termasuk kategori sunnah yang mempunyai fungsi hukum dan tidak mengikat kaum muslimin secara umum.
 Bersifat Tasyri’, membentuk hukum. Ketentuan yang bersifat tasyri’ meliputi tiga hal, yaitu :
1. Merupakan pengejawantahan dari misi kerasulan, seperti penjabaran al-Qur’an yang, meliputi lafadz mujmah (yang perlu perincian), pengkhususan pada lafadz’am (umum), pengikat lafadz mutlak (yang bermakna lepas), dan penjelasan aspek ibadah yang meliputi perkara-perkara yang halal dan haram, aqidah dan akhlak. Jenis ini merupakan tasyri’ yang universal.
2. Aturan yang berkaitan dengan Imamah (kepemimpinan) dan tadbir (pengurusan) yang bersifat umum untuk kepentingan jamaah, seperti pengutusan pasukan perang, penetapan arah penggunaan distribusi harta dan baitul-mal, dan ganimah (rampasan perang), serta pembuatan akad perdamaian. Ini termasuk tasyri’ yang bersifat khusus.
3. Keputusan-keputusan rasul dalam kedudukan beliau sebagai hakim atas kasus yang terjadi pada saat itu. Jenis inipun termasuk tasyri’ yang tidak umum.
Kedudukan as-Sunnah terhadap al-Qur’an pada garis besarnya terbagi tiga :
a. As-Sunnah sebagai penguat al-Qur’an, yaitu sunnah berfungsi sebagai penganut pesan-pesan atau peraturan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an, misalnya al-Qur’an menyebutkan suatu kewajiban dan larangan, lalu rasul dalam Sunnahnya menguatkan kewajiban dan larangan tersebut. Dalam menguatkan pesan-pesan al-Qur’an, as-Sunnah berperan antara lain :
1. Menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan hukum wajib.
2. Menerangkan posisi kewajiban atau larangan dalam syari’at.
3. Menjalaskan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
b. As-Sunnah sebagai penjelasan al-Qur’an, yaitu as-Sunnah memberikan penjelasan terhadap maksud ayat al-Qur’an antara lain :
1. Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:238, as-Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud shalat wusta adalah shalat Ashar.
2. Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (taqyid al-mutlaqa) dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya : QS. al-Maidah/5:38. Pengertian tahan (yad) bersifat lepas (mutlak). Untuk itu as-Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tangan itu adalah pergelangan tangan.
3. Mengkhususkan ketetapan-ketetapan al-Qur’an secara umum (takhsish al’am), misalnya : QS. al-Baqarah /2:275. Jual beli dalam ayat di atas bersifat umum kemudian As-Sunnah mengkhususkan :

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : “Rasulullah saw melarang jual beli dengan lempar batu dan jual beli yang tidak tentu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
4. Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung dalam nas-nas al-Qur’an. QS. ali-Imran/3:97.
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kali kewajiban haji dikerjakan.
“Kewajiban haji itu hanya sekali. Barang siapa yang menambah maka tambahan itu termasuk satu kewajiban.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dari Ibnu Abbas)
5. Menjelaskan mekanisme dari hukum-hukum yang ditetapkan al-Qur’an. Misalnya tentang tata cara shalat, haji dan puasa yang dijelaskan rasul tentang pelakasanaanya.
c. As-Sunnah sebagai pembuat hukum, yaitu sunnah menetapkan hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an menyebutkan beberapa macam makanan yang haram. (QS. al-Maidah/5:3). Kemudian as-Sunnah datang dengan ketetapan yang baru, menambah jumlah barang yang dilarang dimakan sebagai berikut :
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : ”Rasulullah melarang (memakan) setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkaki menyambar.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).

3. Ijtihad
Ijtihad adalah aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Realitas ijtihad ini menjadikannya sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali fiqh-fiqh prosuk Ijtihad lama. Yusuf Qardawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi, serta bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Ijma’ ulama (consensus), mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh memasuki dimensi ibadah mahdhah seperti shalat.
Dasar Ijtihad adalah al-Qur’an, dimana manusia diperintahkan menggunakan akal, pikiran dan pancaindera. Sebagian ulama menunjuk pada QS. al-Maidah/5:48 : “Untuk tiap orang dari kaum, Kami telah ciptakan suatu syari’at dan satu jalan terbuka.” Jalan terbuka (minhajan) dipahami sebagai jalan terbuka bagi intelektual muslim.
Metode ijtihad yang dinilai valid antara lain :
a. Qiyas (reasoning by analogi), yaitu menerapkan hukum perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Misalnya al-Qur’an melarang jual beli ketika Jum’at (QS. al-Jumu’ah/62:9) dan hukum perbuatan selain dagang juga terlarang, karena sama-sama mengganggu shalat Jum’at.
b. Masalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tinjauan kegunaan sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaannya dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan konsiderasi hukum-hukum universal dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau menggunakan dalil-dalil umum dari kedua sumber tersebut, sedangkan masalihul mursalan menitik beratkan kepada pemanfaatan perbuatan dan kaitannya dengan tujuan universal syari’at Islam.

D. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan fungsi utamanya saja, yaitu: (a) fungsi iabadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT; (b) fungsi amar ma’ruf nahi munkar, (c) fungsi zawajir; (d) fungsi tanzim wa islah al-ummah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera (Ibrahim Hosen, 1996:90).

E. Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi ummat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, misalnya :
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
 UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama;
 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam;
 UU Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; dan
 UU Republik Indonesia Tahun 1999 tentang penyelenggaraan zakat.

Namun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus melalui proses, yaitu proses cultural dan dakwah. Apabila hukum Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dalam segi pengembangannya. Dalam ajaran islam ditetapkan bahwa ummat Islam mempunyai kewajiban untuk menaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.

Tidak ada komentar: