Sabtu, 25 Juli 2009

II. KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

A. Hakikat Manusia
Konsep manusia dalam al-Qur’an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia yaitu kata basyar, insan, dan al-nas. Allah memakai konsep basyar dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali, salah satunya al-Kahfi: 110, yaitu : Innama anaa basayarun mitslukum (Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Konsep basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lempung kering (al-Hijr: 33; ar-Rum: 20), serta manusia makan dan minum (al-Mu’minuun: 33). Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.
Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali, di antaranya (al-Alaq: 5), yaitu : Allamal insaana maa lam ya’lam (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzab: 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti (az-Zummar: 27), yaitu : Walaqad dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal (Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.
Dengan demikian, al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan Ilahi atau ruh Allah, memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menantang takdir Allah.
Menurut pandangan Murtadha Mutahhari, manusia adalah makhluk serba dimensi yang dapat disimpulkan menjadi empat dimensi, yaitu:
1. Manusia adalah makhluk yang berdimensi biologis reproduksi. Yang dimaksud dengan dimensi biologis-reproduksi adalah manusia makhluk yang memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis seperti sandang, papan dan pangan serta seks dan memiliki kemampuan bereproduksi (berkembang biak). Dalan konteks makna inilah manusia dinamai dengan al-basyar (QS. al-Mu’minun/23:33 dan QS. Maryam/19:20).
2. Manusia adalah makhluk bendimensi intelektual peradaban. Yaitu manusia membutuhkan ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk mengetahui. Oleh karena itu manusia sejak lahir telah diberikan padanya potensi-potensi ilmiah, berupa pendengaran, penglihatan dan akal budi (QS. as-Sajadah/32:9).
3. Manusia adalah makhluk bendimensi sosial-masyarakat. Artinya manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup dalam komunitas sosial-masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak akan dapat hidup tanpa sosial masyarakatnya. Oleh karena itu manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai contoh seorang manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan kemampuan reproduksinya tanpa bantuan seorang manusia lainnya. Dalam konteks ini, seorang manusia laki-laki membutuhkan seorang manusia perempuan sebagai pasangannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan reproduksinya. Pada kedua dimensi tersebut manusia dinamai dengan al-insan (QS. al-Hujurat/49:13).
4. manusia adalah makhluk bendimensi religius-spritual. Maksudnya manusia merupakan makhluk yang membutuhkan akan agama dan kepatuhan terhadap agama. Dalam konteks inilah manusia dinamai dengan al-ins (QS. al-A’raf/7:172).
(Murtadha Mutahhari, 1984, 125-135).

B. Martabat Manusia
Manusia sebagai makhluk memiliki keunggulan dan keistimewaan dari makhluk lain. Keunggulan tersebut karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang terbaik dan sempurna (ahsani taqwiem QS. at-Tiin: 4), dengan bentuk tubuh yang elastis dan dinamis, serta diberi akal, kewajiban, dan tanggung jawab.
Manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu gumpalan tanah dan hembusan ruh. Ia adalah kesatuan dari kedua unsur tersebut yang tidak dapat dipisahkan. Bila terpisah, maka ia bukan lagi manusia, sebagaimana halnya air, yang merupakan perpaduan antara oksigen dan hidrogen. Dalam kadar-kadar tertentu bila salah satu di antaranya terpisah, maka ia bukan air lagi.
Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari gumpalan tanah, harus menurut cara-cara manusia, bukan seperti hewan. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohaniah bukan seperti malaikat. Sebab kalau demikian, ia akan menjadi binatang atau malaikat, yang keduanya akan membawa ia jatuh dari hakikat kemanusiaannya.
Manusia kecuali diberi potensi positif ada juga potensi negatif berupa kelemahan-kelemahan sebagai manusia. Kelemahan pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan setan. Kedua, dinyatakan secara tegasoleh al-Qur’an bahwa banyak masalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta banyak hal menyangkut hakikat manusia.
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Allah, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Allah, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemajuan manusia dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak kea rah kekuatan, tetapi hal itu tidak akan menghapuskan kegelisahan, kecuali manusia dekat dengan Allah dan mengingat-Nya. Kapasitas manusia tidak terbatas, baik dalam kemampuanbelajar maupun dalam menerapkan ilmu. Manusia memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi atau pendorong manusia, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Manusia dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada dirinya, namun pada saat yang sama, manusia harus menunaikan kewajiban kepada Allah.

C. Tanggung Jawab Manusia
Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat Allah, yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah, di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti manusia memperoleh mandat Allah untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Agar manusia dapat menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan-Nya. Melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep-konsepserta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Allah baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-Kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 39.
Di samping peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kebebasan, ia juga sebagai hamba Allah (‘abdullah). Sebagai hamba Allah harus ta’at dan patuh kepada perintah Allah. Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan. Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi, sebagai khalifah dan ‘abd merupakan keterpaduan tugas dan tanggung-jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreativitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran (Toto Suryana, dkk, 1996: 18 – 21).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kualitas kemanusiaan sangat tergantung pada kualitas komunikasinya dengan Allah melalui ibadah dan kualitas interaksi sosialnya dengan sesama manusia melalui muamalah. Manusia memiliki derajat yang paling mulia dari makhluk lainnya, sebab ada lima pokok keutamaan hidup manusia, sebagai berikut :
1. Diturunkannya Agama (Ad-dien)
Agama menjadi hidayah bagi manusia tentang adanya dua kehidupan, yaitu duniawi dan ukhrawi. Agama menuntun menusia beriman, beramal shaleh dan hidup taqwa. Agama menetapkan nilai dan norma universal agar menusia hidup sejahtera, bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat, menjadi al-muflihuun (QS. al-Baqarah/2:1-5).
2. Memiliki Akal
Akal adalah anugerah Allah swt. yang amat bernilai, faktor pokok dalam aktualisasi ajaran agama. Akal berfungsi agar hidup beragama lebih berkualitas. Dengan potensi akal, manusia mengembangkan fungsinya sebagai khalifah di bumi, karena potensi akal, manusia berkemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS) kontemporer yang amat spektakuler. Karena IPTEKS itulah dewasa ini terjadi revolusi; tranportasi, komunikasi dan informasi. Secara faktual kita menikmati ketiga bidang tersebut. Sebab itu al-Qur’an mengeritik dan mencela orang yang tidak menggunakan akal dan pancainderanya, ia diancam dengan neraka sa’ir (QS. al-Mulk/67:10).
3. Jiwanya
Ruh itu adalah milik Tuhan, dianugerahkan kepada manusia, tetapi tetap menjadi milik-Nya, suatu saat Tuhan akan mengambilnya kembali. Ruh (jiwa) memiliki potensi yang unik dan amat luar biasa. Tetapi juga sangat rahasia dimana hanya Allah yang mengetahuinya. Pada ruh inilah yang merupakan substansi kehidupan manusia. Kewajiban manusia adalah memeliharanya dan menghormatinya, baik jiwanya sendiri maupun jiwa orang lain.
Syariat Islam melindungi kehormatan dan keberadaan jiwa itu. Bagi orang yang melakukan pelanggaran diberlakukan sanksi berat. Allah swt. berfirman dalam QS. as-Sajadah/32:9, QS. al-Isra’/17:31-33, QS. an-Nisa’/4:29 dan Q.S al-Baqarah/2:178-179.
4. Hartanya
Tentang harta benda pada manusia, Islam mengajarkan dan mengaturnya dengan prinsip-prinsip:
a) Islam mengakui adanya hak milik baik individual maupun kooperatif.
b) Allah swt. memerintahkan agar manusia mencari karunia dan rezki Allah dari bagian-bagian alam ini secara halal dan baik (thayyib).
c) Pemanfaatan harta, tidak boleh menyengsarakan orang lain, dan juga tidak boleh digunakan secara mubazir dan berlebih-lebihan (israaf).
d) Menghormati dan melindungi harta benda orang lain. Maka orang yang mengambil dan merampas milik orang lain secara batil, seperti: mencuri, korupsi, merampok, merampas itu wajib dipotong.
e) Islam mengatur tentang perlindungan hak milik, pemanfaatan dan distribusinya. Harta benda harus berfungsi sosial, maka secara hukum ada distribusi yang bernilai wajib/fardhu dan ada yang bersifat sunnat. Seperti: zakat (mal dan fitrah), sadaqah, infaq, nafkah, wakaf dan hadiah. Bagi non-muslim, jizyah (pajak). Allah swt. menjelaskannya dalam QS. an-Nisa’/4:32 dan QS. al-Baqarah/2:188.
(Dienul Islam, Cet. 20, hal. 252-258)
5. Keturunannya
Keturunan adalah prinsip Islam yang melekat pada bangunan keluarga. Islam menetapkan pedoman pemeliharaan keluarga yang disebut “Al-Muhaafadzah ‘alal-Usrah.” Substansi keluarga adalah batu sendi kehidupan masyarakat, kuat dan lemahnya masyarakat atau ummat, terletak pada batu sendi primer ini. Dari keluargalah lahir keturunan. Untuk itu, Islam memberikan tuntunan tentang :
a) Cara memilih jodoh.
b) Cara nikah dan tujuan nikah.
c) Hubungan suami-istri, tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak masing-masing.
d) Sistem pemeliharaan anak dan jaminannya.
e) Sistem waris dari harta benda
f) Larangan perbuatan zina dan sanksinya.
Allah swt. berfirman dalam QS. at-Tahrim/66:6, QS. an-Nisa/4:3-4 dan 9, QS. ar-Rum/30:21dan QS. an-Nur/24:2-3.

Tidak ada komentar: