Minggu, 26 Juli 2009

VII. ISLAM DAN PLURALITAS

A. Pluralitas Dalam Ajaran Islam

1. Pengertian

Kata pluralitas secara generik mengandung makna kejamakan atau kemajemukan. Pluralitas merupakan salah satu tema diskursus intelektual yang sangat intens diperbincangkan. Sebagian pandangan menunjukkan; bahwa pluralitas dipahami sebagai faktor yang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, baik dilatarbelakangi oleh pemahaman dan kepentingan keagamaan serta supermasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan inilah yang kemudian secara ekstrim menolak pluralitas-pluralisme dan menitikberatkan pada keseragaman mutlak. Pandangan yang demikian dapat dilihat pada totaliterisme Barat yang diwakili oleh Uni Soviet. Pandangan lainnya adalah, pandangan yang menerima secara mutlak gagasan pluralitas-pluralisme. Pandangan ini menganggap pluralitas sebagai suatu bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikitpun. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan liberalisme Barat. Lalu bagaimana dengan pandangan Islam tentang pluralitas-pluralisme, apakah Islam sejalan dengan pandangan yang pertama, ataukah yang kedua, dan ataukah ia berbeda dengan keduanya dan memiliki pandangan tersendiri?
Diskursus lain yang juga memperoleh perhatian serius oleh para pemikir kekinian, sebagai perkembangan lebih lanjut dari kajian pluralitas-pluralisme- adalah pengkajian tentang multikultural-multikulturalisme. Kajian multikultural ini tampaknya menarik, disebabkan oleh munculnya pemikiran kritis sosial yang mencoba mempertanyakan kembali nilai kemanusiaan dalam setiap praktek hidup keberagamaan. Pertanyaan kritis ini muncul sebagai kritik terhadap fenomena keberagamaan di tengah perubahan sosial ekonomi dan politik, yang kemudian lebih banyak tidak menguntungkan kelompok masyarakat kecil. Ini salah satu bentuk kritik Nietzschian yang kemudian memunculkan tesis kematian Tuhan dan kemudian mendorong munculnya gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin.
Pengkajian terhadap multikultural-multikulturalisme juga lahir dari fakta tentang perbedaan masyarakat yang bersumber dari tradisi, bahasa, pandangan hidup, keberagamaan, etnis, budaya, latar belakang kehidupan. Fenomena yang demikian memunculkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda dan sering kali menjadi pemicu munculnya konflik-konflik sosial yang tajam, baik konflik sosial internal teritoril kesatuan negara bangsa dan internasional.
Konflik sosial-politik yang tajam dan sering kali dibarengi dengan kekerasan ini, diakibatkan oleh sikap arogansi manusia yang cenderung memandang diri lebih baik, lebih benar, lebih berkuasa dan lebih berhak berkembang untuk menguasai bumi dibanding pihak lain. Tegasnya, gejala sosial-politik menjadi dasar pentingnya pengkajian multikultural, untuk kemudian dikembangkan dan dijadikan sebagai jalan untuk menjawab dan memberikan solusi dari konflik-konflik sosial-politik baik dalam skala nasional maupun internasional.

2. Implikasi Tauhid Terhadap Pluralitas Agama
Alquran berbicara tentang fenomena pluralitas agama-agama dan multikultural. Alquran adalah kitab samawi yang diturunkan terakhir dan diwahyukan kepada penutup para Nabi dan rasul yaitu Muhammad saw. Turunnya Alquran berfungsi sebagai mushaddiq (pembenaran) bagi kitab-kitab terdahulu. Dengan demikian, kedatangan Alquran bukan sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya tetapi lebih sebagai pembenaran tentang inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul dan nabi sebelumnya. Di sisi lain, Alquran juga berfungsi sebagai muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi) atas penyimpangan yang terjadi dari penganut kitab-kitab tersebut. Dari sini dapat ditegaskan bahwa esensi dan subtansi ajaran Alquran sama dengan ajaran kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelumnya, seperti Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil dan suhuf-suhuf.
Esensi ajarannya adalah tauhid. Para nabi dan rasul Allah yang diutus kepada ummat manusia, semuanya membawa ajaran tauhid, termasuk inti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. seperti termuat di dalam Alquran. Itulah sebabnya Nabi Muhammad diperintahkan untuk beriman kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah sebelum Alquran, seperti ditegaskan dalam QS. Asyuura (42): 15: “…Katakanlah (Muhammad): Aku beriman kepada semua kitab yang telah diturunkan oleh Allah….”
Di awal kehidupan Nabi Muhammad saw. hingga akhir kehidupannya benar-benar menyakini bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu adalah berasal dari Allah dan yang menyampaikannya adalah para Nabi dan Rasul Allah. Dengan demikian, tidak heran jika Muhammad sebagai nabi terakhir mengakui kenabian dan kerasulan Ibrahim as., Musa as., Isa as., Nuh as., dan para nabi lainnya. Penyikapan yang demikian semakin kuat pada diri Nabi Muhammad setelah tampak bahwa para pengikut kitab-kitab suci terdahulu ada yang beriman kepada Alquran dan kepada kenabiannya, seperti Waraqa bin Naufal yang telah mengetahui akan datangnya seorang nabi yang ciri-cirinya seperti yang ia baca dalam Kitab Injil.
Fenomena Waraqa ini merupakan salah satu bukti bahwa kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang membawa kitab Alquran sudah menjadi harapan dan keinginan sebagian orang yang telah memiliki kitab sebelumnya. Hal ini ditegaskan di dalam QS. Asy-Syu’ara (26): 192-197: “Sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oeh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hati Muhammad agar menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”
Jika ayat di atas dihubungkan dengan kandungan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya dalam surah yang sama, maka dapat dijelaskan bahwa ketika Alquran disampaikan kepada masyarakat Makkah -sebagai kelompok manusia yang pertama bersentuhan dengan Alquran-, maka sebagian mereka menyakini kebenaran Alquran dan kebanyakan mereka menjadi kelompok kontra Alquran. Bahkan sikap kontra mereka sangat cepat datangnya. Fenomena yang demikian itu tidak saja dialami oleh Muhammad saw ketika Alquran disampaikannya, tetapi setiap nabi dan rasul yang diutus Allah menyampaikan risalahnya maka manusia yang menjadi obyek risalah tersebut akan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok yang menerima risalah dan kelompok kontra risalah. Keterangan ini dapat dilihat dalam QS. 26: 69-191.
Kandungan ayat-ayat pada suarh 26 tersebut berisi kisah Nabi Ibrahim, Nabi Nuh as., Nabi Hud as., Nabi Shaleh as., Nabi Nabi Luth as., dan Nabi Syuaib as. dengan kaum mereka masing-masing. Sebagian kaum para nabi tersebut menjadi kelompok pengikut risalah rasul mereka masing-masing dan kebanyakan kaum tersebut menjadi kelompok kontra risalah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap ummat yang disampaikan padanya risalah Tuhan melalui nabi dan rasul yang diutus kepada mereka, maka ummat tersebut akan terpecah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok pengikut risalah dan kelompok kontra risalah. Dalam konteks ini QS.al-Baqarah (2): 213: menjelaskan bahwa:
“Pada awalnya manusia adalah ummat yang satu. Lalu Allah mengutus para Nabi-Nya kepada mereka sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan lewat kitab yang berisi kebenaran. Dengan kitab itu pulalah diputuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan. Namun ummat tersebut berselisih tentang kitab yang diturunkan kepada mereka, hanya karena keingkaran di antara mereka. Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman kepada kebenaran kitab yang diturunkan kepada mereka, berupa jalan lurus dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka.”
Di sisi lain, dapat pula dikatakan bahwa keingkaran mereka terhadap kitab yang diturunkan kepada mereka disebabkan karena kecintaan mereka terhadap dunia. Hal ini dipahami dari perpautan ayat 213 dengan ayat 212 dalam surah yang sama. Di mana ayat 212 menegaskan bahwa kehidupan dunia bagi kelompok sungguh sangat indah dan mereka memandang hina orang-orang beriman …
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa para nabi dan rasul yang diutus berhadap-hadapan dengan pluralitas sosial-budaya dan sosial politik dan tentunya pluralitas agama. Jadi ketika para nabi dan rasul diutus kepada suatu ummat, ummat tersebut tidaklah hampa budaya tetapi padanya hidup dan berkembang pluralitas sosial-budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian dari kelompok ummat tersebut ada yang tetap berusaha berpegang pada ajaran para nabi dan rasulnya dan sebagian lainnya melenceng dari ajaran nabi dan rasulnya. Kelompok pertama inilah yang kemudian senantiasa berharap agar Allah mengutus kembali seorang nabi dan rasul untuk memurnikan ajaran para nabi dan rasul sebelumnya. Ketika Allah pun mengutus nabi dan atau rasul yang baru (dan memang sebelum pengutusannya sering kali telah diinformasikan dalam kitab sebelumnya), maka kelompok inilah yang kemudian beriman dan menyakini rasul tersebut dan kitabnya. Sedang kelompok kedua yakni kelompok kontra risalah, yaitu ketika Allah mengutus nabi dan rasul baru pada mereka, mereka pun bersikap kontra terhadap rasul dan kitab yang baru tersebut.

B. Konsep Ukhuwah dalam Islam

1. Ukhuwah Islamiyah

Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antara dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki satu kondisi atau perasaan yang sama, baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk saling membantu bila pihak lain mengalami kesulitan dan sikap untuk saling membagi kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan kesenangan. Ukhuwah atau persaudaraan berlaku sesama ummat Islam, yang disebut ukhuwah Islamiyah dan berlaku pula pada semua ummat manusia secara universal tanpa membedakan agama, suku dan aspek-aspek kekhususan lainnya, yang disebut ukhuwah Insaniyah.
Persaudaraan sesama muslim, berarti saling menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi penghalang untuk saling membantu atau menolong karena di antara mereka terikat oleh satu keyakinan dan jalan hidup, yaitu Islam. Agama Islam memberikan petunjuk yang jelas untuk menjaga agar persaudaraan sesama muslim itu dapat terjalin dengan kokoh sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat/49:10-12.

2. Ukhuwah Insaniyah
Konsep persaudaraan sesama manusia, ukhuwah insaniyah dilandasi oleh ajaran bahwa semua ummat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun Allah memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup berdasarkan rasionya. Karena itu sejak awal penciptaan, Allah tidak menetapkan manusia sebagai satu ummat, padahal Allah bisa bila mau. Itulah fitrah manusia (QS. Al-Maidah/5:48).
Prinsip kebebasan itu menghalangi pemaksaan suatu agama oleh otoritas manusia manapun, bahkan rasul pun dilarang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus/10:99 dan QS. Al-Baqarah/2:256.
Perbedaan agama yang terjadi di antara ummat manusia merupakan konsekuensi dari kebebasan yang diberikan oleh Allah, maka perbedaan agama itu tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berinteraksi sosial dan saling membantu, sepanjang masih dalam kawasan kemanusiaan.

C. Kebersamaan Ummat Beragama Dalam Kehidupan Sosial

1. Pandangan Agama Islam Terhadap Ummat Non-Islam
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima Islam sebagai agamanya disebut kafir atau nonmuslim. Kata kafir berarti orang yang menolak, yang tidak mau menerima atau menaati aturan Allah yang diwujudkan kepada manusia melalui ajaran Islam. Sikap kufur, penolakan terhadap perintah Allah pertama kali ditunjukkan oleh iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam a.s. (QS. Al-Baqarah/2:34).
Ketika Rasulullah saw. mulai menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat Arab, sebahagian dari mereka ada yang mau menerima dan sebahagiannya menolak. Orang yang menolak ajaran Rasulullah tersebut disebut kafir. Mereka terdiri orang-orang musyrik yang menyembah berhala yang disebut orang Watsani, orang-orang ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani. Diantara orang-orang kafir tersebut ada yang mengganggu, menyakiti dan memusuhi orang Islam dan ada pula hidup rukun bersama orang Islam. Orang kafir yang mengganggu disebut kafir harbi dan orang kafir yang hidup rukun disebut kafir dzimmi, mereka inilah yang mengadakan perjanjian atau menjadi tanggungan orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Dalam konteks negara Islam, mereka wajib membayar jizyah (QS.At-Taubah/9:29).

2. Tanggung Jawab Sosial Ummat Islam
Ummat Islam adala ummat yang terbaik yang diciptakan Allah dalam kehidupan dunia ini (QS. Ali Imran/3:110). Kebaikan ummat Islam bukan sekedar simbolik, karena telah mengikrarkan keyakinan Allah swt. sebagai Tuhannya dan Muhammad saw sebagai Rasulullah, tetapi karena identifikasi sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk menunjukkan komitmennya dalam beribadah kepada Allah. Dalam Al-Qur’an kedua komitmen itu disebut “hablun minallah wa hablun minannaas “.
Bentuk tanggung jawab sosial ummat Islam meliputi berbagai aspek kehidupan, diantaranya adalah:
 Menjalin silaturahmi dengan tetangga.
 Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang wajib maupun yang sunnah dalam bentuk sedekah (QS. Ibrahim/14:7).
 Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah bila ada anggota masyarakat yang meninggal dengan mengantarkan jenazahnya sampai di kubur.
 Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota masyarakat yang memerlukan bantuan.
 Penyusunan sistem sosial yang efektif dan efisien untuk membangun masyarakat, baik mental spiritual maupun fisik material.

3. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar artinya memerintahkan orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar akan efektif apabila orang yang melakukannya juga memberi contoh. Karena itu diperlukan kesiapan secara sistematik dan melibatkan kelompok orang dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara terorganisasi (QS. Ali-Imran/3:104).
Di samping sistem dan sarana pendukung, amar ma’ruf dan nahi munkar juga memerlukan kebijakan dalam bertindak. Karena itu Rasulullah memberikan tiga tingkatan, yaitu: menggunakan tangan atau kekuasaan apabila mampu, menggunakan lisan dan dalam hati apabila langkah pertama dan kedua tidak memungkinkan. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem diantaranya adalah mendirikan masjid, menyelenggarakan pengajian, mendirikan lembaga pendidikan Islam, mendirikan pesantren dan lain-lain.
Sebagai agama yang universal dan komprehensif, Islam mengandung ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan ummat manusia. Islam tidak hanya mengajarkan tentang akidah dan ibadah semata, tetapi Islam juga mengandung ajaran di bidang ipteks dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

VI. IPTEKS DALAM ISLAM

A. Pengertian IPTEKS Dalam Islam dan Sumbernya
1. Pengertian IPTEKS
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman kepada Allah swt. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak.
2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori: pengetahuan (knowledge/kenneis), ilmu pengetahuan (watenschap/science) dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya nisbi.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak (absolut) dan wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4).
Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para filosuf, ilmuwan dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi.
Sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan sedangkan dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam.
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.
Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.

2. Sumber IPTEKS
Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia .

B. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal
Menurut Islam, ilmu pada hakekatnya tidak bersifat dikotomik seperti : ilmu agama-ilmu umum, ulama-intelektual, madrasah-sekolah, santri-pelajar dan sebagainya. Menurut Al-Qur’an, dua ayat Allah dihadapkan kepada manusia:
 Ayat al-kauniyah (alam semesta dan manusia: individu, komunal dan temporalnya)
 Ayat al-qauliyah (Al-Qur’an dan sunnah rasul)
Interpretasi manusia terhadap fenomena kauniyah melahirkan ilmu pengetahuan: biologi, fisika, kimia, sosiologi, antropologi, komunikasi, ilmu politik, sejarah dan lain-lain. Interpretasi manusia terhadap fenomena qauliyah melahirkan pemahaman agama (actual). Kebenaran hakiki dan sumber ilmu ialah pada Allah swt. Ilmu harus difungsikan sesuai dengan petunjuk Allah swt. (QS. Fushshilat/41:53 dan QS. Ali-Imran/3:164).
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul Islam. Didalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmu dan amal shaleh/ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an S.Ibrahim/14:24-25
Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni.
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan ipteks yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi ummat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah s.w.t, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya (QS. Al-Mujadalah/58:11).

C. Tanggung Jawab Ilmuwan Terhadap Alam dan Lingkungan
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan sebagai khalifah Allah di bumi. Esensi dari abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam konteks 'abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan sang pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya.
Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik (QS. Asy-Syams/91:8). Dengan kedua kecenderungan tersebut, Allah memberikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah.
Fungsi yang kedua sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali sumber-sumber daya serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar kemanfaatan untuk kehidupan ummat manusia dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Tanpa menguasai IPTEKS, fungsi hidup manusia sebagai khalifah akan menjadi kurang dan kehidupan manusia akan tetap terbelakang. Allah menciptakan alam, karena Allah menciptakan manusia. Seandainya Allah tidak menciptakan manusia, maka Allah tidak perlu menciptakan alam. Oleh karena itu, manusia mendapat amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan keseimbangannya untuk kepentingan ummat manusia. Kalau terjadi kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri. Mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai khalifah (QS. Ar-Rum/30:41).

V. ETIKA, MORAL DAN AKHLAK

A. Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
1. Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti. Perkataan budi berasal dari bahasa Sansekerta budh yang berarti kesadaran. Kata pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan.
 Menurut Imam Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘Ulumuddin” Juz III hal. 52.
Khuluq (perangai) ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pertimbangan pikiran.
 Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq: Khuluq ialah membiasakan kehendak.

2. Moral dan Etika
Kata moral berasal dari bahasa latin mos, jamaknya adalah mores yang berarti kebiasaan. Kata etika berasal dari bahasa Yunani etos berarti kebiasaan, perasaan batin atau kecenderungan hati di mana seseorang melakukan perbuatan (Filsafat Moral, 1989:9). Jadi moral hanya dikaitkan pada kelakuan lahir manusia, sedang etika tidak hanya pada kelakuan lahir akan tetapi lebih mendalam sampai kepada motivasi-motivasi kelakuan lahir.
Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, maka yang dijadikan standar baik dan buruk adalah akal manusia. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk yang diterima oleh utusan atau masyarakat, maka yang dijadikan standar baik dan buruk adalah adat istiadat.
Dengan demikian etika adalah penyelidikan filsafat tentang bidang yang mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tentang yang baik dan buruk. Bidang itulah yang disebut moral (Etika Umum, 1985:13).
Pengertian etika dan moral menurut istilah.
 Menurut Austan Fagothey dalam bukunya “Right and Reason, Ethics in Theory and Practice.” Ethics is the practical normative science of the rightness and wrongness of human conduct as known by natural reason. Etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang praktis mengenai kelakuan benar dan tidak benar manusia yang dimengerti oleh akal murni.

 Menurut Ensiklopedi Umum:
Morality is right living virtue, conformity to generally accepted standard of conduct. Moral adalah kehidupan yang benar dan baik, pengesahan dan penerimaan secara umum tentang ukuran dasar tingkah laku.
Dari ketiga istilah di atas (akhlak, moral dan etika) memiliki persamaan yaitu membicarakan persoalan baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Perbedaannya antara lain:
• Sumber akhlak adalah Al-Qur’an dan sunnah rasul, sedangkan moral dan etika adalah adat istiadat dan filsafat.
• Akhlak bersifat absolut, sedangkan moral dan etika bersifat relatif.

B. Karakteristik Akhlak
 Akhlak adalah salah satu kerangka dasar Islam yang termuat dalam kitab suci Al-Qur’an.
 Akhlak bersifat universal dan absolut. Bahwa nilai-nilai baik dan buruk daripada suatu perbuatan yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah berlaku bagi seluruh manusia. Kapan dan dimanapun serta kebenarannya bersifat absolut.
 Akhlak menuntut bagi pelakunya untuk senantiasa ikhlas melaksanakan hak-hak yang harus diberikan kepada yang berhak. Melakukan kewajiban terhadap sesama manusia yang menjadi hak manusia lainnya, melakukan kewajiban terhadap alam dan lingkungannya.
 Dalam ilmu etika “Kebaikan Tertinggi” yang istilah latinnya disebut “Summum Bonum” (Al-Khair Kully) merupakan tujuan akhir dari semua manusia. Kebaikan tertinggi itu adalah semuanya ingin baik dan bahagia (QS. Al-Baqarah/2:148). Kebaikan yang berhubungan dengan tujuan ini dapat dibedakan dengan kebaikan sebagai tujuan akhir (Summum Bonum) dan kebaikan sebagai cara atau sarana untuk sampai kepada tujuan akhir tersebut.
Di dalam akhlak, antara baik sebagai tujuan sementara harus sejalan dengan baik sebagai tujuan akhir. Artinya cara satu garis mencapai tujuan-tujuan itu berada dalam satu garis lurus yaitu berdasarkan satu norma. Di samping baik juga harus benar.

C. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah dengan cara menyucikan hati (tashfiat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya biasa dekat dengan Tuhan melainkan dapat juga melihat Tuhan (al-ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci. Menurut Zun Nun al-Misri, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan, yaitu :
1. Pengetahuan awam : Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2. Pengetahuan ulama : Tuhan satu menurut logika akal.
3. Pengetahuan kaum sufi : Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
Pengetahuan yang disebut pertama dan kedua menurut Harun Nasution, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya masih disebut ilmu. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan (ma’rifah). Telah dijelaskan bahwa akhlak adalah gambaran hati (al-qalb) yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan. Jika hatinya bersih dan suci maka yang akan keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (akhlak al-mahmudah) dan sebaliknya jika hatinya kotor dengan dosa-dosa dan sifat-sifat yang buruk maka yang akan muncul dalam perilakunya adalah akhlak yang buruk (akhlak al-mazmumah).
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara mensucikan hati (tashfiat al-qalb), agar setelah hatinya suci yang muncul dari perilakunya adalah akhlak al-karimah. Perbaikan akhlak menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari penyucian hati. Persoalan yang mengemuka kemudian adalah bagaimana cara mensucikan hati dalam tasawuf? Metode tasfiat al-qalb, dalam pendapat para sufi adalah dengan menjauhi larangan Tuhan (ijtinab al-manhiyyah), melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan (adaa al-wajibat), melakukan hal-hal yang disunatkan (al-naafilaat), dan al-riyadhah. Riyadhah artinya latihan spiritual sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw., sebab yang mengotori hati manusia adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat akibat lengah dari bujukan nafsu dan godaan syaitan. Kata para sufi, keadaan hati itu ada tiga macam. Pertama, hati yang mati yaitu hatinya orang kafir. Kedua, hati yang hidup yaitu hatinya orang yang beriman. Ketiga, hati yang kadang-kadang hidup dan kadang-kadang mati, itulah hatinya orang fasik dan munafik. Yang harus diperjuangkan adalah bagaimana agar hati kita istiqamah dalam kehidupan ini.

D. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan
Kedudukan akhlak dalam agama Islam adalah identik dengan pelaksanaan agama Islam itu sendiri dalam segala bidang kehidupan. Maka pelaksanaan akhlak yang mulia adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala larangan-larangan dalam agama, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan makhluknya, dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya dengan sebaik-baiknya, seakan-akan melihat Allah dan apabila tidak bisa melihat Allah maka harus yakin bahwa Allah selalu melihatnya sehingga perbuatan itu benar-benar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Akhlak yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan adalah sebagai berikut:

1. Akhlak kepada Allah swt. meliputi:
a. Mentauhidkan Allah swt. (QS. Al-Ikhlas/112:1-4)
b. Beribadah kepada Allah swt. (QS. Adz-Dzaariyat/51:56)
c. Berdzikir kepada Allah swt. (QS. Ar- Ra’d/13:28)
d. Tawakkal kepada Allah swt. (QS. Hud/111:123)

2. Akhlak terhadap manusia:
a. Akhlak terhadap diri sendiri, meliputi:
 Sabar (QS. Al-Baqarah/2:153)
 Syukur (QS. An-Nahl/16:14)
 Tawaddu (QS. Luqman/31:18
 Iffah, yaitu mensucikan diri dari perbuatan terlarang (QS. Al-Isra/17:26)
 Amanah (QS. An-Nisa/14:58)
 yajaah (QS. Al-Anfaal/18:15-16)
 Qanaah (QS. Al-Isra/17:26)
b. Akhlak terhadap kedua orang tua (QS. Al-Isra/17:23-24)
c. Akhlak terhadap keluarga, yaitu mengembangkan kasih sayang, keadilan dan perhatian. (QS. An-Nahl/16:90 dan QS. At-Tahrim/66:6)
d. Akhlak terhadap tetangga (QS. An-Nisa/4:36)

3. Akhlak terhadap lingkungan
Berakhlak terhadap lingkungan hidup adalah di mana manusia menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Allah menyediakan kekayaan alam yang melimpah hendaknya disikapi dengan cara mengambil dan memberi dari dan kepada alam serta tidak dibenarkan segala bentuk perbuatan yang merusak alam. Maka alam yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang berlipat ganda, sebaliknya alam yang dibiarkan merana dan diambil manfaatnya saja justru mendatangkan malapetaka bagi manusia. (QS. Al-Qashash/28:77, QS. ar-Rum/30:41, dan QS. Hud/11:61)

Sabtu, 25 Juli 2009

IV. KONSEP HUKUM DAN HAM

A. Pengertian Hukum Islam, Ruang Lingkup, dan Tujuannya

1. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya melalui sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadits. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, dimana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud adalah syari’at Islam, fikih Islam dan hukum Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari’at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fikih Islam diterjemahkan dengan Islamic Jusrisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, sedang untuk fikih Islam dipergunakan istilah hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktek sering kali kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Syari’at merupakan landasan fikih, dan fikih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu, seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fikih Islam. Pada pokoknya perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
a. Syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’ah yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman itu.
b. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam Islam. Sedangkan fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
c. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, karena itu berlaku abadi; fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
d. Syari’at hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu, seperti misalnya terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab.
e. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragamannya (H.M. Rasjidi, 1958:403; Asaf A.A. Fyzee, 1955:17).
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah. Ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perombakan dan perubahan secara asasi mengenai hukum, susunan dan tata cara ibadah itu sendiri. Yang mungkin berubah hanyalah pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada yang pokok-pokok saja. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. (Mohammad Daud Ali/1999:49).

2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam tidak membedakan hukum perdata dengan hukum publik seperti halnya hukum barat. Hal ini disebabkan karena menurut hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Dalam hukum Islam yang dibutuhkan hanya bagian-bagiannya saja.
Menurut H. M. Rasyidi bagian hukum Islam adalah :
- munaakahat
- al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah),
- wirasah
- siayar
- muamalat dalam arti khusus
- mukhassamat
- jinayat atau ukubat
(H. M. Rasyidi/1980:25-26)

Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat yang membedakan antara hukum publik dan hukum perdata, maka yang termasuk dalam hukum perdata Islam adalah:
1. Munaakahat, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serat akibat-akibatnya.
2. Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan ini juga disebut fara’id.
3. Muamalat dalam arti khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah :
1. Jinayat, memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud (perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad) maupun jarimah ta’sir (perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya).
2. al-ahkam as-sulthaniyah, yakni hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
3. Siyar, yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
4. Mukhassamat, mengatur peradilan, kehakiman dan hukum acara.
(Mohammad Daud Ali/1999:51-52)
Dari hal-hal yang sudah dikemukakan jelas bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fukaha (para yuris Islam) di masa lampau seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, hukum bunga bank, euthanasia dan lain sebagainya serta berbagai aspek kehidupan lainnya dapat merupakan hukum Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga yaitu ar-ra’yu dengan menggunakan ijtihad.
Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakuakn secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan ummat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslimin dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini oleh Pendidikan Agama Islam yang melaksanakan hukum Islam yang setelah tahun enam puluhan diwajibkan di sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), maraknya kehidupan beragama Islam di Indonesia setelah tahun 1966 terutama dan perkembangan global kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pula oleh sikap pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah, misalnya dalam program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia seperti Hazairan dan Hasbi As-Shiddiqie, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fikih Islam dengan pembentukan fikih Indonesia (1962). Syarifuddin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam. Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hukum Islam dalam pinjam-meminjam, jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.
Kontribusi ummat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, misalnya
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
 UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama;
 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam;
 UU Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; dan
 UU Republik Indonesia Tahun 1999 tentang penyelenggaraan zakat.

3. Tujuan Hukum Islam
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka serta mengarahkan kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq Al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam yang kemudian disepakati oleh para ahli hukum Islam, yaitu :

a. Memelihara agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk lain dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentu hati nurani manusia. Agama Islam harus terpeliahara dari ancaman orang-orang yang akan merusak akidah, syari’ah dan akhlak atau mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan paham atau aliran yang batil. Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah/2:256).
b. Memelihara jiwa
Menurut hukum Islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
c. Memelihara akal
Menurut hukum Islam seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akalnya manusia dapat memahami wahyu Allah baik yang terdapat dalam kitab suci maupun wahyu Allah yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah. Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu, pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam melarang orang meminum-minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamar dan memberi hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal (QS. al-Maidah/5:90).
d. Memelihara keturunan
Dalam hukum Islam, memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Maka dalam hukum Islam, untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan Islam yang ada dalam al-Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan. Dalam al-Qur’an hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan disebutkan secara tegas dan rinci seperti larangan-larangan perkawinan. Hal ini dijelaskan dalam QS. an-Nisa’/4:23.
e. Memelihara harta
Menurut hukum Islam harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya, untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di bumi (makhluk yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal artinya sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena pemilikan atas suatu benda hanya ada pada Allah, namun karena diperlukan adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik seseorang atas suatu benda diakui dengan pengertian bahwa hak milik itu harus diperoleh secara halal dan berfungsi sosial.
(Anwar Haryono/1968:140).
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang bersifat primer, sekunder maupun tersier (Juhaya S. Praja/1988:196). Oleh karena itu, apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.

B. Hak Asasi Manusia Menurut Islam
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandangan Islam dan Barat. Hak asasi manusia menurut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia menurut pandangan Barat semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan demikian manusia sangat sipentingkan. Dalam hubungan ini, A.K Brohi menyatakan: “Berbeda dengan pendekatan Barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris (Altaf Gauhar, 1983:198)
Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, maka di dalam Islam melalui firman-Nya, Allahlah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Di sinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola pemikran Barat dengan hak-hak asasi menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu. (Mohammad Daud Ali, 1995: 304).
Dari uraian tersebut di atas, sepintas lalu nampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep Islam seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hukum-Nya. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah (Altaf Gauhar, 1982:204). Oleh karena itu, hak asasi manusia adalah hak-hak itu dilandasi kewajiban azasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.
Kewajiban yang diperintahkan kepada kepada manusia dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu huquuqullah dan huquuqul ‘Ibad. Huquuqullah (hak-hak Allah) adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah swt. yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huquuqul ‘ibad (hak-hak manusia) adalah merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, tetapi hak-hak Allah adalah bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya (Syaukat Husain, 1996:54).

C. Sumber Hukum Islam
Menurut al-Qur’an surat an-Nisa’/4:59, setiap muslim wajib menaati kemauan atau kehendak Allah, rasul dan ulil amri (penguasa). Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut kini tertulis dalam al-Qur’an, kehendak Rasulullah terhimpun dalam kitab-kitab hadits, kehendak penguasa termaktub dalam kitab-kitab fikih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi Muhammad memuji dengan menanyakan sumber hukum yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’az bahwa dia akan menggunakan al-Qur’an.
Jawaban itu kemudian disusul oleh nabi Muhammad dengan pertanyaan berikutnya: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam al-Qur’an bagaimana?” Mu’az menjawab: Saya akan mencarinya dalam sunnah nabi Muhammad.” Kemudian nabi bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam sunnah nabi Muhammad, bagaimana?” Kemudian Mu’az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu.” Nabi sangat senang atas jawaban Mu’az itu dan berkata: “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya.” (H.M. Rasyidi/1980:456)
Dari hadits yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan bahwa hukum Islam ada tiga, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini dalam keputusan hukum Islam diistilahkan dengan al-ra’yu yakni pendapat seseorang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia dalam segala kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan al-ra’yu merupakan sumber ketiga atau sumber pengembangan.

1. Al-Qur’an
Sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Wahyu Allah itu diturunkan dalam bahasa Arab dan secara autentik terhimpun dalam mushap al-Qur’an.
Kata al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan atau yang dibaca. Dalam ini terkandung makna bahwa wahyu Allah yang diturunkan secara lisan ini membuka kemungkinan untuk ditulis dan dikumpulkan sehingga menjadi kitab yang dapat dibaca manusia. Al-Qur’an adalah kitab suci yang demikian masyhur telah dikemukakan berbagai Ulama Tafsir, diantaranya :
1. Dr. Dawud Al-Aththar (1979), menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafadz (lisan) maka serta gaya bahasa (usulan)-nya yang termaktub dalam mushaf yang dinukil darinya secara mutawatir.
2. Tim penerjemah/penafsir al-Qur’an :
“Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.”
(Al-Qur’an dan terjemahnya; hal.15, th. 1971)
Al-Qur’an sebagai sumber aqidah, norma dan nilai, mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
1) Pokok-pokok keyakinan atau iman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari kiamat. Dari pokok-pokok yang terkandung dalam al-Qur’an ini lahirlah ilmu tauhid Theology Islam).
2) Pokok-pokok peraturan hukum, yaitu garis-garis besar aturan tentang hubungan dengan Allah, antara manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan syari’at, hukum dan ilmu fikhi.
3) Pokok-pokok dan aturan tingkah laku atau nilai-nilai dalam etika tingkah laku.
4) Petunjuk dasar tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan eksistensi dan kebesaran Tuhan sebagai pencipta. Petunjuk dasar ini merupakan isyarat-isyarat ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan.
5) Kisah-kisah para nabi dan ummat terdahulu.
6) Informasi tentang alam ghaib seperti adanya jin, kiamat, surga dan neraka.
Secara umum al-Qur’an membawa dua fungsi utama yaitu sebagai mukjizat dan pedoman dasar ajaran Islam. Mukjizat menurut bahasa berarti melemahkan, sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia mukjizat artinya kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Al-Qur’an sebagai mukjizat menjadi bukti kebenaran Muhammad selaku utusan Allah yang membawa misi universal, risalah akhir dan syari’ah yang sempurna bagi manusia. Untuk itu Allah menurunkan dengan bahasa kandungan makna, hukum dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya unsur-unsur mukjizat menjadi dalil atau argumentasi yang mampu melemahkan segala argumen dan mematahkan segala dalil yang dibuat manusia untuk mengingkari kebenaran Rasulullah saw. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah/2:23 yang artinya :
“ Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
Tantangan tersebut berlaku sejak diturunkannya dahulu, sekarang hingga masa yang akan datang. Allah sendiri memberikan garansi bahwa siapapun bahkan sekiranya manusia dan jin berserikat membuat al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan mampu membuatnya.(QS. al-Isra’/17:78).
Kemukjizatan al-Qur’an meliputi beberapa aspek :
a. Bahasa al-Qur’an
Keistimewaan bahasa al-Qur’an terletak pada gaya pengungkapannya antara lain kelembutan dalam jalinan huruf dan kata dengan lainnya. Susunan huruf-huruf kata-kata al-Qur’an terajut secara teratur sehingga menjelma menjadi ayat-ayat yang indah untuk dibaca dan diucapkan. Keindahan bahasa al-Qur’an ini menjadikannya mukjizat sehingga apabila ada kata-kata manusia yang disisipkan kedalamnya, maka akan rusaklah keindahannya. Karena itu upaya-upaya untuk memalsukan ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah berhasil. Keistimewaan lainnya dari bahasa adalah adanya keserasian bahasa al-Qur’an dengan akal dan perasaan manusia. Al-Qur’an menggabungkan kebenaran dan keindahan sehingga menyentuh akal dan hati manusia sekaligus. (QS. Fush Shilat/41:39).
Selain itu pengubahan kata yang dinamis menjadi bukti lain dari keistimewaan bahasa al-Qur’an. Misalnya gaya al-Qur’an dalam menyajikan perintah dan larangan. Firman Allah: (QS. an-Nisa/4:58, QS. al-Baqarah/2:183, QS. ali-Imran/3:97, QS. al-A’raaf/7:33, QS. al-Mumtahanah/60:89).
b. Sejarah
Kedudukan pesan, proses, dan ketabahan para Rasul Allah mulai dari Adam hingga Isa serta kondisi ummat yang dihadapi mereka, yang tidak dapat ditemukan ilmu sejarah, dikisahkan oleh al-Qur’an. Selain kisah para Rasul Allah, al-Qur’an juga menceritakan kisah-kisah beberapa kaum dan perorangan yang menonjol pada masanya guna menjadi pelajaran bagi kaum sesudahnya. Sejarah kuno tentang peradaban manusia itu tidak mungkin datang kecuali dari Tuhan semesta alam. Itulah sejarah tua yang membuktikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
c. Isyarat tentang ilmu pengetahuan
Al-Qur’an bercerita mengenai hukum-hukum dalam ala mini (sunnatullah) diterangkan berbagai persoalan biologi, farmasi, astronomi dan geografis. Misalnya tentang kejadian alam, QS. al-Anbiya’/21:30. Fungsi matahari sebagai pelita dan bulan cahaya, QS. an-Nur/71:15-16. Bintang yang menembus, QS. ath-Thariq/86:1-3. Fungsi gunung sebagai pasak bagi keseimbangan bumi, QS. an-Naba’/78:6-7. Fungsi sperma dalam kaitan kemungkinan jenis kelamin, QS. an-Najm/53:45-46.
Segala sesuatu di alam ini merupakan refleksi dan manifestasi dari adanya Allah dengan segala sifat kesempurnannya. Karena itu, manusia tidak akan habis-habisnya mengagumi dan mengambil pelajaran dan ibarat yang bermanfaat daripadanya (QS. al-Mulk:3-4 dan QS. ar-Rum:22). Isyarat demi isyarat yang ditunjukkan al-Qur’an mengenai sains telah terbukti shahih, mendapat konfirmasi peneliti ilmu pengetahuan modern.
d. Konsistensi ajaran selama proses penurunan yang panjang al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama kurun waktu 23 tahun. Rentang waktu itu bukanlah waktu yang pendek. Ini menjadi bukti tersendiri akan kebenaran Muhammad selaku Rasulullah. Sekiranya al-Qur’an merupakan pokok pikiran Nabi, maka norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an pastilah saling bertentangan. Demikianlah konsistensi doktrin al-Qur’an selama proses penurunannya menjadi dalil yang meneguhkan keberadaan Muhammad selaku Rasulullah dan kebenaran risalah yang dibawahnya. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam QS. an-Nisa’/4:82.
e. Nabi Muhammad saw. yang Ummi.
Muhammad saw. adalah seorang dari umumnya masyarakat di kala itu yang ummi, yaitu tidak pandai membaca dan menulis. Tetapi beliau dikenal oleh masyarakat luas, lantaran pribadinya yang mulia sehingga menjadi daya tarik yang amat luar biasa. Beliau amat populer karena kejujurannya, dan pada posisi lain juga populer dari segi keummiannya. Amat menakjubkan karena kemukjizatan beliau menjadi personifikasi al-Qur’an (QS. al-Ankabut/29:48).

2. As-Sunnah
Sunnah adalah sumber Islam yang kedua, dipakai sebagai dalil hukum. Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan sunnah, maksudnya adalah dasar ketetapan hukum tersebut ialah keterangan dari Nabi Muhammad saw., berupa ucapan (sunnah qaulyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan keizinannya (sunnah taqririyah).
Sunnah sebagai sumber Islam dan dalil hukum sesudah al-Qur’an, ditetapkan sendiri oleh al-Qur’an (QS. an-Nisa’/4:59, QS. al-Hasyr/59:7). Nabi Muhammad sebagai rasul diberi tugas untuk membacakan dan mengajarkan wahyu kepada manusia serta memberi contoh penerapannya. Posisi as-Sunnah dalam Syariat Islam, dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, as-Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya, al-Qur’an bersifat qath’il wurud, sementara As-Sunnah bersifat zhanni al-wurud.
Sunnah terbagi dua, yaitu Sunnah Tasyri’ dan Ghairu Tasyri’. Semua informasi yang menyangkut Rasulullah itu, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dikelompokkan ke dalam beberapa bagian :
 Bersifat al-hajah al-basyariyah (kebutuhan yang bersifat kemanusiaan) seperti makan dan minum.
 Mencerminkan tradisi pribadi dan masyarakat, seperti urusan pertanian dan pengobatan.
 Pengaturan urusan tertentu seperti bertempur dan berperang.

Tiga persoalan di atas bukan tasyri’ (ghairu tasyri’) dan tidak juga menjadi sumber tasyri’. Karena itu, perilaku nabi dan kebijakan beliau dalam hal-hal di atas tidak termasuk kategori sunnah yang mempunyai fungsi hukum dan tidak mengikat kaum muslimin secara umum.
 Bersifat Tasyri’, membentuk hukum. Ketentuan yang bersifat tasyri’ meliputi tiga hal, yaitu :
1. Merupakan pengejawantahan dari misi kerasulan, seperti penjabaran al-Qur’an yang, meliputi lafadz mujmah (yang perlu perincian), pengkhususan pada lafadz’am (umum), pengikat lafadz mutlak (yang bermakna lepas), dan penjelasan aspek ibadah yang meliputi perkara-perkara yang halal dan haram, aqidah dan akhlak. Jenis ini merupakan tasyri’ yang universal.
2. Aturan yang berkaitan dengan Imamah (kepemimpinan) dan tadbir (pengurusan) yang bersifat umum untuk kepentingan jamaah, seperti pengutusan pasukan perang, penetapan arah penggunaan distribusi harta dan baitul-mal, dan ganimah (rampasan perang), serta pembuatan akad perdamaian. Ini termasuk tasyri’ yang bersifat khusus.
3. Keputusan-keputusan rasul dalam kedudukan beliau sebagai hakim atas kasus yang terjadi pada saat itu. Jenis inipun termasuk tasyri’ yang tidak umum.
Kedudukan as-Sunnah terhadap al-Qur’an pada garis besarnya terbagi tiga :
a. As-Sunnah sebagai penguat al-Qur’an, yaitu sunnah berfungsi sebagai penganut pesan-pesan atau peraturan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an, misalnya al-Qur’an menyebutkan suatu kewajiban dan larangan, lalu rasul dalam Sunnahnya menguatkan kewajiban dan larangan tersebut. Dalam menguatkan pesan-pesan al-Qur’an, as-Sunnah berperan antara lain :
1. Menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan hukum wajib.
2. Menerangkan posisi kewajiban atau larangan dalam syari’at.
3. Menjalaskan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
b. As-Sunnah sebagai penjelasan al-Qur’an, yaitu as-Sunnah memberikan penjelasan terhadap maksud ayat al-Qur’an antara lain :
1. Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:238, as-Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud shalat wusta adalah shalat Ashar.
2. Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (taqyid al-mutlaqa) dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya : QS. al-Maidah/5:38. Pengertian tahan (yad) bersifat lepas (mutlak). Untuk itu as-Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tangan itu adalah pergelangan tangan.
3. Mengkhususkan ketetapan-ketetapan al-Qur’an secara umum (takhsish al’am), misalnya : QS. al-Baqarah /2:275. Jual beli dalam ayat di atas bersifat umum kemudian As-Sunnah mengkhususkan :

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : “Rasulullah saw melarang jual beli dengan lempar batu dan jual beli yang tidak tentu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
4. Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung dalam nas-nas al-Qur’an. QS. ali-Imran/3:97.
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kali kewajiban haji dikerjakan.
“Kewajiban haji itu hanya sekali. Barang siapa yang menambah maka tambahan itu termasuk satu kewajiban.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dari Ibnu Abbas)
5. Menjelaskan mekanisme dari hukum-hukum yang ditetapkan al-Qur’an. Misalnya tentang tata cara shalat, haji dan puasa yang dijelaskan rasul tentang pelakasanaanya.
c. As-Sunnah sebagai pembuat hukum, yaitu sunnah menetapkan hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an menyebutkan beberapa macam makanan yang haram. (QS. al-Maidah/5:3). Kemudian as-Sunnah datang dengan ketetapan yang baru, menambah jumlah barang yang dilarang dimakan sebagai berikut :
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : ”Rasulullah melarang (memakan) setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkaki menyambar.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).

3. Ijtihad
Ijtihad adalah aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Realitas ijtihad ini menjadikannya sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali fiqh-fiqh prosuk Ijtihad lama. Yusuf Qardawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi, serta bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Ijma’ ulama (consensus), mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh memasuki dimensi ibadah mahdhah seperti shalat.
Dasar Ijtihad adalah al-Qur’an, dimana manusia diperintahkan menggunakan akal, pikiran dan pancaindera. Sebagian ulama menunjuk pada QS. al-Maidah/5:48 : “Untuk tiap orang dari kaum, Kami telah ciptakan suatu syari’at dan satu jalan terbuka.” Jalan terbuka (minhajan) dipahami sebagai jalan terbuka bagi intelektual muslim.
Metode ijtihad yang dinilai valid antara lain :
a. Qiyas (reasoning by analogi), yaitu menerapkan hukum perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Misalnya al-Qur’an melarang jual beli ketika Jum’at (QS. al-Jumu’ah/62:9) dan hukum perbuatan selain dagang juga terlarang, karena sama-sama mengganggu shalat Jum’at.
b. Masalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tinjauan kegunaan sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaannya dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan konsiderasi hukum-hukum universal dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau menggunakan dalil-dalil umum dari kedua sumber tersebut, sedangkan masalihul mursalan menitik beratkan kepada pemanfaatan perbuatan dan kaitannya dengan tujuan universal syari’at Islam.

D. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan fungsi utamanya saja, yaitu: (a) fungsi iabadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT; (b) fungsi amar ma’ruf nahi munkar, (c) fungsi zawajir; (d) fungsi tanzim wa islah al-ummah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera (Ibrahim Hosen, 1996:90).

E. Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi ummat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, misalnya :
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
 UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama;
 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam;
 UU Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; dan
 UU Republik Indonesia Tahun 1999 tentang penyelenggaraan zakat.

Namun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus melalui proses, yaitu proses cultural dan dakwah. Apabila hukum Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dalam segi pengembangannya. Dalam ajaran islam ditetapkan bahwa ummat Islam mempunyai kewajiban untuk menaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.

III. AGAMA ISLAM

A. Makna Agama Islam
Berbicara masalah agama tidak terlepas dari masalah kehidupan manusia itu sendiri, olehnya itu agama menjadi suatu kebutuhan hidup yang memiliki fungsi-fungsi seperti yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
 Mahmud Syaltut menyebutkan, bahwa fungsi agama adalah sebagai wahana untuk :
• Mensucikan jiwa dan membersihkan hati.
• Membentuk sikap patuh dan taat serta menimbulkan sikap dan perasaan mengagungkan
Tuhan.
• Memberi pedoman kepada manusia dalam menciptakan kebaikan hidup di dunia secara
mantap dengan cara memperat hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta.
(Mahmud Syaltut, Mintaujihat al-Islam, hal. 22-23)
 Musthafah al-Zuhayli mengemukakan, bahwa fungsi agama yaitu:
• Sebagai pemenuhan kebutuhan rohani
• Sebagai motivasi dalam mencapai kemajuan
• Sebagai pedoman hidup
• Sebagai sarana pendidikan rohani
• Sebagai pembentukan keseimbangan jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi
• Sebagai pembentukan kemantapan dan ketenangan jiwa
(Al-Zuhayli, dalam al-tadaahmun al-Islam, Th.XXXIV, 1980, hal. 50)
 Al-Maraghi berpendapat, bahwa agama bertujuan untuk:
• Mensucikan jiwa dan membebaskan akal dari kepercayaan sinkritisme terhadap
kekuatan ghaib yang dimiliki makhluk dalam menguasai alam agar makhluk atau
selainnya tunduk dan patuh kepadanya.
• Memperbaiki sikap bathin (qalb) atas dasar tujuan yang baik, agar dalam melakukan
semua perbuatan dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk Allah dan untuk manusia.
(Al-Maraghi, jld I, h. 118)
Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kehidupan ummat manusia pada khususnya, dan semua makhluk Allah pada umumnya. Kondisi itu akan terwujud apabila manusia sebagai penerima amanah Allah dapat menjalankan aturan tersebut secara benar dan “kaafah.”
Agama Islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama, Nabi pertama, yaitu Nabi Adam. Agama Islam itu kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya. Akhir dari proses penurunan agama Islam itu baru terjadi pada masa kerasulan Muhammad Saw pada awal abad ke-VII Masehi. Islam sebagai nama dari agama yang Allah turunkan belum dinyatakan secara eksplisit pada masa kerasulan sebelum Muhammad Saw, tetapi makna dan substansi ajarannya secara implicit memiliki persamaan yang dapat dipahami dari pernyataan sikap para Rasul sebagaimana Allah firmankan dalam QS. al-Baqarah: 132, yang artinya: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Ajaran agama Islam memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Sesuai dengan fitrah hidup manusia, artinya (1) ajaran agama Islam mengandung petunjuk yang sesuai dengan sifat dasar manusia, baik dari aspek keyakinan, perasaan, maupun pemikiran, (2) sesuai dengan kebutuhan hidup manusia, (3) memberikan manfaat tanpa menimbulkan komplikasi, dan (4) menempatkan manusia dalam posisi yang benar (QS. ar-Rum/30:30).
2. Ajarannya sempurna, artinya materi ajaran Islam berisis petunjuk-petunjuk pada seluruh kehidupan manusia. Petunjuk itu adakalanya disebut secara eksplisit, dan adakalanya disebut secara implisit. Untuk memahami petunjuk yang bersifat implisit dilakukan dengan ijtihad (QS. al-Maidah/5:3).
3. Kebenarannya mutlak. Kebenaran itu dapat dipahami karena ajaran Islam berasal dari Allah Yang Maha Benar, dan dapat pula dipahami melalui bukti-bukti materiil, serta bukti riilnya. Karena itu Allah mengingatkan agar manusia tidak meragukan kebenarannya (QS. al-Baqarah/2:147).
4. Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Sekalipun menurut ajaran Islam manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah, tetapi nilai ibadah manusia terdapat pada seluruh aspek kehidupan, dan manusia harus memperhatikan berbagai aspek-aspek kepentingan dalam hidupnya tersebut sebagaimana Allah sebutkan dalam QS. al-Qashash/28:77.
5. Fleksibel dan ringan, artinya ajaran Islam memperhatikan dan menghargai kondisi masing-masing individu dalam menjalankan aturannya, dan tidak memaksakan orang Islam untuk melakukan suatu perbuatan di luar batas kemampuannya. Hal itu ditegaskan oleh Allah dalam QS. al-Baqarah/2:286.
6. Berlaku secara universal, artinya ajaran Islam berlaku untuk seluruh ummat manusia di dunia sampai akhir masa (QS. al-Ahzab/33:40).
7. Sesuai dengan akal pikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal pikirannya (QS. al-Mujadilah/58:11).
8. Inti ajarannya “Tauhid” dan seluruh ajarannya mencerminkan ketauhidan Allah tersebut (QS. al-An’am/6:162).
9. Menciptakan rahmat, kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya, seperti ketenangan hidup bagi orang yang meyakini dan menaatinya (QS. al-Fath/48:4). Kerahmatan yang diwujudkan oleh Islam itu juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan missii kerasulan Muhammad SAW (QS. al-Anbiya’/21:107).
Fungsi Islam sebagai rahmat Allah tidak bergantung pada penerimaan atau penilaian manusia. Substansi rahmat terletak pada fungsi ajaran tersebut, fungsi tersebut baru dirasakan baik oleh manusia sendiri maupun oleh makhluk-makluk yang lain apabila manusia sebagai pengemban amanah Allah telah menaati ajaran tersebut. Fungsi Islam sebagai rahmat Allah bagi semua alam dijelaskan oleh Allah dalam QS. al-Anbiya’/21:107. Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu adalah :
 Islam menunjuki manusia jalan hidup yang benar. Ajaran Islam sebagiannya bersifat supra rasional atau ta’abbudi dan sebagian ajaran Islam yang lain bersifat rasional atau ta’aqquli.
 Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah secara bertanggung jawab (QS. Yunus/10:99 dan QS. al-Baqarah/2:256).
 Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai hamba Allah, baik mereka muslim maupun non-muslim.
 Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional.
 Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia dan memberikan perlakuan yang spesifik pula.

B. Kerangka Dasar Agama Islam
Kerangka dasar ajaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. bersifat multidimensional, universal, abadi dan fithri. Dikatakan multi dimensional karena ajarannya mencakup dimensi-dimensi yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliqnya (hablu minallah) dan hubungan manusia dengan dirinya, dengan sesamanya, maupun dengan makhluk lainnya (hablu minannas) (QS. ali-Imran/3:112). Ajaran Islam ditujukan bagi kepentingan pemeliharaan tatanan kehidupan manusia dan alam semesta secara menyeluruh (universal), yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dinilai sebagai ajaran yang abadi, karena dalam agama Islam terancang konsep ajaran yang mencakup penataan kehidupan di dunia yang sejahtera dan kehidupan di akhirat (selepas kehidupan dunia) yang bahagia. Konsep ajarannya dikatakan fithri, karena sesuai dengan fithrah manusia yang terancang secara serasi bagi kepentingan pemeliharaan, peningkatan dan pengembangan kebutuhan fithrah manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Pada sisi inilah keutamaan dan kelebihan risalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini ditunjang oleh kerangka dasar atau pokok-pokok ajaran Islam, yaitu:
 Aspek keyakinan yang disebut dengan aqidah, yaitu aspek credial atau keimanan terhadap Allah dan semua yang difirmankan-Nya dan disabdakan oleh rasul-Nya untuk diyakini. Aqidah Islam ini telah dirumuskan dalam bentuk rukun iman. Penafsiran terhadap aqidah melahirkan literatur keislaman yang dikenal dengan istilah ilmu kalam atau teologi Islam dengan berbagai macam aliran pemikiran.
 Aspek norma atau hukum yang disebut syari’ah, yaitu aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta. Penafsiran terhadap syariah Islam melahirkan literature keislaman yang disebut dengan fikhi Islam dengan berbagai macam mazhab.
 Aspek perilaku yang disebut dengan akhlaq atau ihsan, yaitu sikap-sikap atau perilaku baik yang nampak maupun tidak nampak dari pelaksanaan aqidah dan syari’ah. Penafsiran terhadap akhlak melahirkan literature keislaman yang disebut dengan imu tasawauf dengan berbagai macam aliran (tarekat).
Ketiga aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan dipisahkan satu dengan lainnya tetapi menyatu membentuk kepribadian yang utuh pada diri setiap manusia muslim. Aqidah digambarkan sebagai akar yang menunjang kokoh dan tegaknya batang di atas muka bumi, syari’ah diumpamakan sebagai batang yang berdiri kokoh diatas akar yang menancap ke bumi, sedangkan akhlaq dimisalkan dengan buah yang dihasilkan dari proses yang berlangsung pada akar dan batang. Keutuhan dan kesatuan ketiga aspek inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada ummat Islam, ketika mereka mengikrarkan dirinya untuk memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah/2:208).
Aqidah (keimanan) yang benar, akan melahirkan sikap kepatuhan pada ajaran dan norma-norma yang telah digariskan dalam hukum (syari’ah), dan pelaksanaan norma dan hukum tersebut yang didasari oleh aqidah yang benar, akan melahirkan perilaku zhahiriyah dan bathiniyah yang sesuai dengan kaedah dan norma moralitas (akhlak).

II. KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

A. Hakikat Manusia
Konsep manusia dalam al-Qur’an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia yaitu kata basyar, insan, dan al-nas. Allah memakai konsep basyar dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali, salah satunya al-Kahfi: 110, yaitu : Innama anaa basayarun mitslukum (Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Konsep basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lempung kering (al-Hijr: 33; ar-Rum: 20), serta manusia makan dan minum (al-Mu’minuun: 33). Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.
Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali, di antaranya (al-Alaq: 5), yaitu : Allamal insaana maa lam ya’lam (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzab: 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti (az-Zummar: 27), yaitu : Walaqad dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal (Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.
Dengan demikian, al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan Ilahi atau ruh Allah, memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menantang takdir Allah.
Menurut pandangan Murtadha Mutahhari, manusia adalah makhluk serba dimensi yang dapat disimpulkan menjadi empat dimensi, yaitu:
1. Manusia adalah makhluk yang berdimensi biologis reproduksi. Yang dimaksud dengan dimensi biologis-reproduksi adalah manusia makhluk yang memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis seperti sandang, papan dan pangan serta seks dan memiliki kemampuan bereproduksi (berkembang biak). Dalan konteks makna inilah manusia dinamai dengan al-basyar (QS. al-Mu’minun/23:33 dan QS. Maryam/19:20).
2. Manusia adalah makhluk bendimensi intelektual peradaban. Yaitu manusia membutuhkan ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk mengetahui. Oleh karena itu manusia sejak lahir telah diberikan padanya potensi-potensi ilmiah, berupa pendengaran, penglihatan dan akal budi (QS. as-Sajadah/32:9).
3. Manusia adalah makhluk bendimensi sosial-masyarakat. Artinya manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup dalam komunitas sosial-masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak akan dapat hidup tanpa sosial masyarakatnya. Oleh karena itu manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai contoh seorang manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan kemampuan reproduksinya tanpa bantuan seorang manusia lainnya. Dalam konteks ini, seorang manusia laki-laki membutuhkan seorang manusia perempuan sebagai pasangannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan reproduksinya. Pada kedua dimensi tersebut manusia dinamai dengan al-insan (QS. al-Hujurat/49:13).
4. manusia adalah makhluk bendimensi religius-spritual. Maksudnya manusia merupakan makhluk yang membutuhkan akan agama dan kepatuhan terhadap agama. Dalam konteks inilah manusia dinamai dengan al-ins (QS. al-A’raf/7:172).
(Murtadha Mutahhari, 1984, 125-135).

B. Martabat Manusia
Manusia sebagai makhluk memiliki keunggulan dan keistimewaan dari makhluk lain. Keunggulan tersebut karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang terbaik dan sempurna (ahsani taqwiem QS. at-Tiin: 4), dengan bentuk tubuh yang elastis dan dinamis, serta diberi akal, kewajiban, dan tanggung jawab.
Manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu gumpalan tanah dan hembusan ruh. Ia adalah kesatuan dari kedua unsur tersebut yang tidak dapat dipisahkan. Bila terpisah, maka ia bukan lagi manusia, sebagaimana halnya air, yang merupakan perpaduan antara oksigen dan hidrogen. Dalam kadar-kadar tertentu bila salah satu di antaranya terpisah, maka ia bukan air lagi.
Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari gumpalan tanah, harus menurut cara-cara manusia, bukan seperti hewan. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohaniah bukan seperti malaikat. Sebab kalau demikian, ia akan menjadi binatang atau malaikat, yang keduanya akan membawa ia jatuh dari hakikat kemanusiaannya.
Manusia kecuali diberi potensi positif ada juga potensi negatif berupa kelemahan-kelemahan sebagai manusia. Kelemahan pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan setan. Kedua, dinyatakan secara tegasoleh al-Qur’an bahwa banyak masalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta banyak hal menyangkut hakikat manusia.
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Allah, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Allah, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemajuan manusia dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak kea rah kekuatan, tetapi hal itu tidak akan menghapuskan kegelisahan, kecuali manusia dekat dengan Allah dan mengingat-Nya. Kapasitas manusia tidak terbatas, baik dalam kemampuanbelajar maupun dalam menerapkan ilmu. Manusia memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi atau pendorong manusia, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Manusia dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada dirinya, namun pada saat yang sama, manusia harus menunaikan kewajiban kepada Allah.

C. Tanggung Jawab Manusia
Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat Allah, yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah, di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti manusia memperoleh mandat Allah untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Agar manusia dapat menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan-Nya. Melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep-konsepserta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Allah baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-Kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 39.
Di samping peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kebebasan, ia juga sebagai hamba Allah (‘abdullah). Sebagai hamba Allah harus ta’at dan patuh kepada perintah Allah. Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan. Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi, sebagai khalifah dan ‘abd merupakan keterpaduan tugas dan tanggung-jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreativitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran (Toto Suryana, dkk, 1996: 18 – 21).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kualitas kemanusiaan sangat tergantung pada kualitas komunikasinya dengan Allah melalui ibadah dan kualitas interaksi sosialnya dengan sesama manusia melalui muamalah. Manusia memiliki derajat yang paling mulia dari makhluk lainnya, sebab ada lima pokok keutamaan hidup manusia, sebagai berikut :
1. Diturunkannya Agama (Ad-dien)
Agama menjadi hidayah bagi manusia tentang adanya dua kehidupan, yaitu duniawi dan ukhrawi. Agama menuntun menusia beriman, beramal shaleh dan hidup taqwa. Agama menetapkan nilai dan norma universal agar menusia hidup sejahtera, bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat, menjadi al-muflihuun (QS. al-Baqarah/2:1-5).
2. Memiliki Akal
Akal adalah anugerah Allah swt. yang amat bernilai, faktor pokok dalam aktualisasi ajaran agama. Akal berfungsi agar hidup beragama lebih berkualitas. Dengan potensi akal, manusia mengembangkan fungsinya sebagai khalifah di bumi, karena potensi akal, manusia berkemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS) kontemporer yang amat spektakuler. Karena IPTEKS itulah dewasa ini terjadi revolusi; tranportasi, komunikasi dan informasi. Secara faktual kita menikmati ketiga bidang tersebut. Sebab itu al-Qur’an mengeritik dan mencela orang yang tidak menggunakan akal dan pancainderanya, ia diancam dengan neraka sa’ir (QS. al-Mulk/67:10).
3. Jiwanya
Ruh itu adalah milik Tuhan, dianugerahkan kepada manusia, tetapi tetap menjadi milik-Nya, suatu saat Tuhan akan mengambilnya kembali. Ruh (jiwa) memiliki potensi yang unik dan amat luar biasa. Tetapi juga sangat rahasia dimana hanya Allah yang mengetahuinya. Pada ruh inilah yang merupakan substansi kehidupan manusia. Kewajiban manusia adalah memeliharanya dan menghormatinya, baik jiwanya sendiri maupun jiwa orang lain.
Syariat Islam melindungi kehormatan dan keberadaan jiwa itu. Bagi orang yang melakukan pelanggaran diberlakukan sanksi berat. Allah swt. berfirman dalam QS. as-Sajadah/32:9, QS. al-Isra’/17:31-33, QS. an-Nisa’/4:29 dan Q.S al-Baqarah/2:178-179.
4. Hartanya
Tentang harta benda pada manusia, Islam mengajarkan dan mengaturnya dengan prinsip-prinsip:
a) Islam mengakui adanya hak milik baik individual maupun kooperatif.
b) Allah swt. memerintahkan agar manusia mencari karunia dan rezki Allah dari bagian-bagian alam ini secara halal dan baik (thayyib).
c) Pemanfaatan harta, tidak boleh menyengsarakan orang lain, dan juga tidak boleh digunakan secara mubazir dan berlebih-lebihan (israaf).
d) Menghormati dan melindungi harta benda orang lain. Maka orang yang mengambil dan merampas milik orang lain secara batil, seperti: mencuri, korupsi, merampok, merampas itu wajib dipotong.
e) Islam mengatur tentang perlindungan hak milik, pemanfaatan dan distribusinya. Harta benda harus berfungsi sosial, maka secara hukum ada distribusi yang bernilai wajib/fardhu dan ada yang bersifat sunnat. Seperti: zakat (mal dan fitrah), sadaqah, infaq, nafkah, wakaf dan hadiah. Bagi non-muslim, jizyah (pajak). Allah swt. menjelaskannya dalam QS. an-Nisa’/4:32 dan QS. al-Baqarah/2:188.
(Dienul Islam, Cet. 20, hal. 252-258)
5. Keturunannya
Keturunan adalah prinsip Islam yang melekat pada bangunan keluarga. Islam menetapkan pedoman pemeliharaan keluarga yang disebut “Al-Muhaafadzah ‘alal-Usrah.” Substansi keluarga adalah batu sendi kehidupan masyarakat, kuat dan lemahnya masyarakat atau ummat, terletak pada batu sendi primer ini. Dari keluargalah lahir keturunan. Untuk itu, Islam memberikan tuntunan tentang :
a) Cara memilih jodoh.
b) Cara nikah dan tujuan nikah.
c) Hubungan suami-istri, tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak masing-masing.
d) Sistem pemeliharaan anak dan jaminannya.
e) Sistem waris dari harta benda
f) Larangan perbuatan zina dan sanksinya.
Allah swt. berfirman dalam QS. at-Tahrim/66:6, QS. an-Nisa/4:3-4 dan 9, QS. ar-Rum/30:21dan QS. an-Nur/24:2-3.

I. KONSEPSI KETUHANAN DALAM ISLAM

A. Pembuktian Wujud Allah
Untuk membuktikan adanya Allah, al-Qur’an mengisyaratkan suatu metode yaitu menyelidiki tentang kejadian manusia dan alam semesta. Langit dan bumi serta isinya merupakan bukti yang nyata tentang adanya Allah swt. Untuk membuktikan wujud Allah, Ibnu Rusyd menggunakan dua cara:
1. “dalil Inayah” (the proof of providence), yaitu mengarahkan manusia untuk mengamati alam semesta sebagai ciptaan Allah yang mempunyai tujuan/manfaat bagi manusia.
(QS. Luqman/31:20, QS. an-Naba’/78:6-16, QS. Ali Imran/3:190-191).
2. “dalil Ikhtira”, yaitu mengarahkan manusia untuk mengamati makhluk yang beraneka ragam yang penuh keserasian atau keharmonisan khususnya alam hayat.
(QS. al-Ghasyiyah/88:17-22, QS. al-Hajj/22:73).
Bukti lain tentang adanya Allah berdasarkan teori kefilsafatan antara lain :
a. Dalil cosmological, yang sering dikemukakan berhubungan dengan ide tentang sebab (causality). Plato dalam bukunya “Timeaus” mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan. Dalam dunia kita tiap-tiap kejadian mesti didahului oleh sebab-sebab dalam benda-benda yang terbatas (finite) rangkaian sebab adalah terus menerus, akan tetapi dalam logika rangkaian yang terus menerus itu mustahil.
b. Dalil moral, argumen ini sering dihubungkan dengan nama Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan yang buruk dan melaksanakan perbuatan yang baik. Manusia melakukan hal itu hanya semata-mata karena perintah yang timbul dari dalam lubuk hati nuraninya. Perintah ini bersifat universal dan absolut. Dorongan seperti ini tidak diperoleh dari pengalaman, akan tetapi manusia lahir dengan perasaan itu.

B. Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan kepada Allah Yang Maha Esa (tauhid) merupakan titik pusat keimanan, karena itu setiap aktivitas seorang muslim senantiasa dipertautkan secara vertikal kepada Allah swt. Pekerjaan seorang muslim yang dilandasi keimanan dan dimulai dengan niat karena Allah, akan mempunyai nilai ibadah di sisinya. Sebaliknya pekerjaan yang tidak diniatkan karena Allah tidak mempunyai nilai apa-apa (QS. al-Bayyinah/98:5). Hadits Rasulullah saw. bersabda: “Bahwasanya segala perbuatan tergantung pada niatnya dan bahwasanya tiap-tiap orang adalah apa yang ia niatkan …… (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam mengajarkan bahwa iman kepada Allah swt. harus bersih dan nurani, menutup setiap celah yang memungkinkan masuknya syirik. (QS. al-Ikhlas, 112: 1-4 dan QS. an-Nisa’, 4: 48).
Tauhid adalah mengitikadkan bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Tauhid mencakup tujuh macam sikap, yaitu :
1. Tauhid Dzat
Tauhid Dzat artinya mengitikadkan bahwa Dzat Allah itu Esa, tidak berbilang. Zat Allah itu hanya dimiliki oleh Allah saja, yang selain-Nya tidak ada yang memiliki-Nya. Rasulullah menasehatkan: “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan pikirkan dzat Allah, karena kamu tidak akan sanggup mengira-ngirakan hakekat yang sebenarnya.” (HR. Abu Naim dan Ibnu Umar).
2. Tauhid Sifat
Tauhid sifat adalah mengitikadkan bahwa tidak ada yang sesuatupun yang menyamai sifat Allah, dan hanya Allah saja yang memiliki sifat kesempurnaan (QS. asy-Syura/42:11).
3. Tauhid Wujud
Tauhid wujud adalah mengitikadkan bahwa hanya Allah yang wajib ada. Adanya Allah tidak membutuhkan kepada yang mengadakan (QS. al-Hadid/57:3).
4. Tauhid Af’al
Tauhid Af’al adalah mengitikadkan bahwa Allah sendiri yang menciptakan dan memelihara alam semesta (QS. al-Furqan/25:2 dan QS. al-Muzammil/73:20).
5. Tauhid Ibadah
Tauhid ibadah adalah mengitikadkan bahwa hanya Allah saja yang berhak dipuji dan dipuji. (QS. al-Fatihah/1:5 dan QS. al-Mu’minun/23:32).
6. Tauhid Qashdi
Tauhid Qashdi adalah mengitikadkan bahwa hanya kepada Allah-lah segala amal ditujukan, segala amal dilakukan secara langsung tanpa perantara serta ditujukan hanya untuk memperoleh keridhaan-Nya semata (QS. al-An’am/6:162).
7. Tauhid Tasyri’
Tauhid Tasyri’ adalah mengitikadkan bahwa hanya Allah-lah pembuat peraturan (hukum) yang paling sempurna bagi makhluk-Nya. Allah adalah sumber segala hukum.
(QS. an-Nisa/4:59 dan QS. al-Maidah/5:44 dan 47).

C. Iman dan Taqwa
1. Pengertian Iman dan Taqwa
Kata iman adalah bahasa Arab, berasal dari kata amana artinya aman. Maksudnya orang yang beriman selalu memiliki perasaan aman karena yakin selalu dilindungi oleh Allah. Dalam kaitan inilah iman terkait dengan aqidah. Aqidah itu berasal dari bahasa Arab, “aqad” artinya ikatan. Maksudnya ikatan hati dengan Allah.
Definisi iman ialah keyakinan penuh dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lidah dan diwujudkan oleh amal perbuatan.
Taqwa berarti hati-hati, mawas diri dan waspada. Menurut H.A. Salim dalam “Dienul Islam” yang dikarang oleh Drs. H. Nasruddin Razak, disebutkan bahwa taqwa lebih tepat disalin kata “ingat” dengan makna; awas, hati-hati, yaitu menjaga diri, memelihara keselamatan diri, yang dapat diusahakan dengan melakukan yang baik dan benar, mematangkan yang jahat dan salah seperti yang dikehendaki oleh taqwa.
Jadi pengertian taqwa secara umum ialah sikap mental orang-orang mukmin dari kepatuhannya dalam melaksanakan perintah-perintah Allah swt. serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya atas dasar kecintaan semata.
2. Tanda-Tanda Orang Beriman
• Senantiasa hatinya bergetar apabila membaca, mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an.
• Mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang diberikan oleh Allah swt. (QS. al-Anfal/8:2-3).
• Taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. al-Anfal/8:24).
• Beramal dan berdakwah dengan penuh kesabaran. (QS. al-‘Ashr/103:3).
3. Tanda-Tanda Orang Bertaqwa
• Dalam al-Qur’an disebutkan pada surat ali-Imran/3:131,133 dan 135.
• Memelihara diri dari hal-hal yang menjerumuskan ke neraka.
• Selalu menuju kepada maghfirah (ampunan Allah swt.).
• Apabila berbuat keji, segera mengingat Allah dan memohon ampunan-Nya.
• Segala perilakunya merasa disaksikan oleh Allah swt. (QS. al-A’raf/7:96).

D. Peranan Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak diantara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. an-Nisa/4:78.
3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, arena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan dan bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Acapkali manusia dilanda resah dan dukacita, serta digoncang oleh keraguan dan kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d/13:28.
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. an-Nahl/16:97.
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162.
7. Iman memberi keberuntungan
Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena Allah membimbing dan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:5.
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk zigot dalam rahim ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
Jika karena terpengaruh tanggapan, baik indera maupun akal, terjadi perubahan fisiologis tubuh (keseimbangan terganggu), seperti takut, marah, putus asa, dan lemah, maka keadaan ini dapat dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu, orang-orang yang dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit modern, seperti darah tinggi, diabetes dan kanker.
Sebaliknya, jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak mengacuhkan asas moral dan akhlak, merobek-robek nilai kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah ingat Allah, maka orang yang seperti ini hidupnya akan diikuti oleh kepanikan dan ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi adrenalin dan persenyawaan lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak bagian atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan mengakibatkan terganggunya kelancaran proses metabolisme zat dalam tubuh manusia. Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasa sedih, dan ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh kematian.
Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan manusia, ia bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati, melainkan juga menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup. Apabila suatu masyarakat terdiri dari orang-orang yang beriman, maka akan terbentuk masyarakat yang aman, tenteram, damai dan sejahtera.


Kasus :
Kadang-kadang kepercayaan seseorang seolah-olah tertutupi dan tidak ternyatakan. Namun dalam keadaan tertentu ia muncul dengan tiba-tiba. Misalnya, dalam keadaan gembira ria orang sering melupakan Tuhan, bahkan sebagian orang dengan sombong dan berani mengatakan: “tidak ada Tuhan.” Namun dalam keadaan kritis, ketika sedang diancam bahaya maut atau sedang berlayar di tengah lautan yang dilanda badai topan, orang dengan khusyu’ berdo’a memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
1. Kasus di atas memungkinkan bahwa pada prinsipnya setiap manusia mengakui adanya Tuhan. Bagaimana pendapat saudara trerhadap pernyataan tersebut ?
2. Diskusikan kasus di atas dengan teman anda, dalam hubungan dengan ayat yang menjelaskan bahwa roh manusia sudah meyakini adanya Tuhan, sebelum manusia dilahirkan di muka bumi ini.