Senin, 28 September 2009

Dikubur 26 Tahun Jasad Masih Utuh

Secara Teori Tidak Masuk Akal

KH.Abdullah (paling kiri) saat menuntut ilmu di Mekkah Jakarta - Lahan seluas lapangan bulutangkis itu kini hanya tinggal puing-puing. Dulu di lahan tersebut berdiri sebuah musala yang diberi nama An-Najat. Di musala itu KH. Abdullah
memberikan pengajian kepada murid-muridnya, sejak tahun 1950-an.
Nama Kiai Abdullah kini ramai menjadi perbincangan di Tangerang karena jasadnya yang sudah dikubur selama 26 tahun ternyata masih utuh bahkan bau wangi. Kondisi jenazah persis sama seperti saat dikubur dulu. Hanya tubuhnya agak menyusut saja, dan rambutnya memutih.
Sepanjang hidupnya, Kiai Abdullah banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajar agama. Menurut Achmad Fathi, putra Kiai Abdullah, sewaktu muda Kiai Abdullah sempat dibimbing Kiai Mursan, seorang ulama yang tinggal di kampung Blenduk, Batu Ceper, Tangerang, yang letaknya sekitar 2 kilometer dari kediamannya.
Setelah 5 tahun menuntut ilmu di Kiai Mursan, pria kelahiran 16 Desember 1919 itu kemudian diperintah KH Marsan untuk menambah ilmu di Darul Ulum, Mekkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar selama kurang lebih 7 tahun.
Kiai Abdullah akhirnya pulang ke tanah air setelah gurunya, Syekh Yasin, asal Padang, Sumatera Barat, memintanya pulang ke Indonesia, untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat, khususnya di wilayah Batu Ceper, Tangerang.
"Ayah saya diperintahkan pulang untuk mengajar oleh Syekh Yasin, saat perang dunia ke II (1939-1945)," jelas Achmad Fathi saat ditemui detikcom.
Sesuai perintah gurunya, Kiai Abdullah kemudian mulai memberikan pengajian di sekitar rumahnya. Sistem pengajaran yang dilakukan Kiai Abdullah bukan model pesantren melainkan berbentuk majelis.
Lokasi pengajian dilakukan di Musala An-Najat sejak beduk Magrib hingga jam sembilan
malam. Usai pengajian, biasanya murid-murid bermalam di musala dan pulang selepas
salat Subuh berjamaah.
Materi pengajian yang diajarkan Kiai Abdullah berupa ilmu Fiqih (hukum) maupun tafsir Al Quran. Adapun kitab-kitab yang diajarjakan, antara lain, Jurmiyah, Nahwu, Shorof, Fathul Qorib, Fathul Muin, maupun tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-Suyiti.
Saat mengajar, sang kiai dikenal sangat tegas. Namun meski dikenal galak dalam mengajar, murid-muridnya justru semakin hari semakin bertambah. Mereka umumnya datang dari daerah Batu Ceper dan wilayah Tanggerang.
Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Abdullah juga mengajarkan murid-muridnya cara
bercocok tanam. Saat siang hari biasanya murid-muridnya bekerja di sawah maupun kebun pepaya milik Abdullah. "Murid-murid kalau siang hari ditugasi mengelola sawah dan kebun milik keluarga kami," jelas Achmad Fathi.
Kesolehan dan ilmu yang mumpuni yang dimiliki Kiai Abdullah lama-lama tersiar ke seantero Tangerang. Itu sebabnya, Pemda Tangerang pada tahun 1973 memintanya untuk menjadi Wakil Ketua Pengadilan Agama Tengerang.
Namun sekalipun telah bekerja di pemerintahan, sikap sederhana dan rendah hati tetap melekat dalam diri Kiai Abdullah. Setiap bekerja ia hanya menggunakan sepeda ontel.
Jarak antara rumahnya ke Pengadilan Agama Tangerang berjarak sekitar 10 kilometer.
"Kata bapak hidup sederhana dan apa adanya merupakan perintah Nabi Muhammad SAW. Karena itu selama hidup bapak tidak mau hidup secara berlebih-lebihan," jelas Abdul Zibaki, anak Kiai Abdullah Lainnya.
Selama hidup Kiai Abdullah memiliki tiga orang istri, yakni Rohani, Maswani, dan Romlah. Ia pertama menikah dengan Rohani, yang merupakan putri gurunya, KH Mursan, sekitar tahun 1945. Dari pernikahannya dengan Rohani, dikarunia dua orang anak. Namun tidak lama setelah melahirkan anak kedua, Rohani meninggal dunia.
Selang dua tahun kemudian Kiai Abdullah menikah lagi dengan Maswani, yang merupakan tetangga rumahnya. Dari Maswani, Kiai Abdullah dikaruniai 5 orang anak. Dan lagi-lagi istri keduanya ternyata pergi menghadap Sang Pencipta lebih dulu darinya. Maswani wafat tahun 1980.
Setelah kematian istri keduanya Kiai Abdullah sebenarnya tidak mau menikah lagi. Namun karena desakan anak-anaknya, ia akhirnya menikah dengan Romlah, warga tetangga Desa Juru Mudi. "Kami merasa kasian sama bapak karena tidak ada yang mengurusinya. Makanya kami mendesaknya untuk menikah lagi," tutur Mukhtar Ali, anak sulung Kiai Abdullah.
Namun dari pernikahannya dengan Romlah, Kiai Abdullah tidak dikaruniai anak hingga ia wafat pada 22 Oktober 1983. Kiai Abdullah meninggal dunia lantaran penyakit ginjal yang dideritanya. Sebelum meninggal ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Kiai Abdullah dimakamkan di belakang musala An-Najat berdasarkan wasiat yang disampaikannya kepada anaknya, Mukhtar sebelum meninggal. Sang kiai beralasan ingin dikubur di sana mengingat musala itu merupakan tempat perjuangannya pertama kali di dunia dakwah.
Musala tempatnya pertama kali mengajar seakan menjadi kenangan sendiri bagi Abdullah. Meskipun ia sebenarnya juga telah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang diberi nama Islahuddiniyah, sejak tahun 1970-an. Lokasi madrasah itu persis berada di depan rumah Kiai Abdullah.
Soal utuhnya jasad Kiai Abdulah setelah dikubur selama 26 tahun dikatakan salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Said Budairy sebagai karunia Allah. Menurutnya, jenazah itu dilindungi oleh Allah.
"Kejadian seperti itu sudah sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Dan biasanya yang jasadnya seperti itu adalah orang-orang yang hafidz Alquran dan alim," jelasnya.
Ditambahkannya, untuk melihat kealiman si jenazah bisa dilihat dari perjalanan hidup
almarhum. "Dan kalau seperti yang saya dengar kiai itu sebagai orang yang ahli ilmu,
itu sudah tidak salah lagi. Berarti kiai itu dilindungi Allah di dalam kuburnya,"
imbuhnya.
Sementara Agus Hendratno, anggota Ikatan Ahli Geologi Yogyakarta mengatakan, dari
teori geologi, memang bisa saja jasad manusia yang dikubur akan tetap utuh.
Penyebabnya mungkin saja di dalam tanah itu tidak terdapat hewan organik yang bisa
mengubah jasad manusia, seperti kulit dan daging menjadi tanah.
Menurut Agus, dalam peristiwa utuhnya jenazah Kiai Abdullah mungkin saja bisa disebabkan di liang lahat tidak terdapat hewan organik.
"Sebenarnya peristiwa utuhnya jenazah masuk lebih kepada urusan spiritual. Tapi
kalau mau dikait-kaitkan ke dalam teori geologi, bisa saja di liang lahat itu tidak
terdapat hewan organik," urainya
Tapi, kata Agus, bila lokasi tanah yang berair dan lembab seperti di wilayah Batu Ceper, yang dikenal dahulunya merupakan daerah rawa-rawa, teori itu terbantahkan. Dengan kata lain Agus berpendapat jika peristiwa utuhnya jenazah Kiai Abdullah sangat unik dan di luar kebiasaan. (Detik News)

Rabu, 12 Agustus 2009

X. SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI

A. Pengertian Politik Islam
Dalam term keislaman politik identik dengan siasah. Secara etimologis siasah artinya mengatur, aturan, dan keteraturan. Fikih siasah adalah hukum Islam yang mengatur system kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti kebijkan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Garis-garis besar siasah Islam meliputi tiga aspek:
1. Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam).
2. Siasah Daoliyyah (Hukum politik yang mengatur hubungan antara satu negara dengan negara yang lain).
3. Siasah Maliyyah (Hukum politik yang mengatur sistem ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi menurut siasah Islam ada pada Allah. Kedaulatan yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat dalam konsep Islam berada di tangan Tuhan. Gambaran kekuasaan dan kehendak Tuhan tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul. Oleh karena itu, penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaannya itu dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan al-Qur’an.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Politik dalam Islam
Prinsip-prinsip dasar siasah dalam Islam meliputi antara lain:
1. al-Musyawarah
a. Pembahasan bersama
b. Tujuan bersama yaitu untuk mencapai suatu keputusan
c. Keputusan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama.

2. al-‘Adalah (keadilan)
3. al-Musawah (persamaan)
4. al-Hurriyyah (kemerdekaan)
5. Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat (A. Djazuli, 2001: 15).

C. Demokrasi dalam Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Di dalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’) dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan masyarakat muslim (John L. Esposito & John O’Voll, 1999:33). Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura/42:28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, “perwakilan rakyat” dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura’). Dalam bidang politik, ummat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. (John L. Esposito, 1991:149).
Di samping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yaitu konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Namun hampir sepanjang sejarah Islam konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan ummat Islam. Namun dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah (Humidullah/1870:130). Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas (John L. Esposito & John O. Voll, 1999:34).
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yaitu ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Musyawarah, konsensus dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di sunia kontemporer (John L. Esposito & John O. Voll, 1999:36).

D. Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Prinsip-prinsip hukum internasional dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat.
2. Menjaga kehormatan dan integrasi nasional masing-masing Negara.
3. Keadilan universal
4. Menjaga perdamaian abadi
5. Menjaga kenetralan Negara-negara lain, serta larangan terhadap eksploitasi dan imperialisme.
6. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di Negara lain.
7. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral.
8. Menjaga kehormatan dan hubungan internasional
9. Persamaan keadilan untuk para penyerang.

E. Kontribusi Ummat Islam terhadap Kehidupan Politik di Indonesia
Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik teah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis berbasis ummat Islam dan kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-tokoh politik Islam dan ummat Islam terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejak awal proses kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan hingga sekarang era reformasi.
Berkaitan dengan keutuhan Negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan ummat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, ummat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila kesatu dari Pancasila, yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemeluknya.”
Ummat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam; Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama (Kuntowijiyo, 1997: 80).

IX. KEBUDAYAAN ISLAM

A. Pengertian Kebudayaan Islam

Secara garis besarnya definisi kebudayaan sebanyak itu dikelompokkan ke dalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang masing-masing pembuat definisi.
Kelompok pertama, menggunakan pendekatan deskriptip dengan menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya seperti definisi yang dipakai oleh Tylor bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang amat kompleks meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.
Kelompok kedua, menggunakan pendekatan histories dengan menekankan pada warisan sosial dan tradisi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Pork dan Burgess yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah sejumlah totalitas dan organisasi serta warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
Kelompok ketiga, menggunakan pendekatan normatif seperti definisi yang dipakai oleh Rolph Linton (Linton/1945:27) yang menegaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kelompok keempat, menggunakan pendekatan psikologi yang diantaranya menekankan pada aspek penyesuaian diri (adjustment) dan proses belajar seperti definisi yang dipakai oleh Kluckhon yang menegaskan bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses suatu masyarakat.
Kelompok kelima, menggunakan pendekatan struktural dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Turney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang material maupun nonmaterial.
Kelompok keenam, menggunakan pendekatan genetik yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan simbol. Termasuk dalam kelompok ini adalah definisi yang dibuat oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian akhir individu dan masyarakat.
Dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan sesuatu persoalan yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dalam diri manusia. Artinya bahwa manusialah sebagai pencipta kebudayaan itu. Dari penjelasan di atas, kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Secara umum kebudayaan adalah istilah yang menunjukkan segala hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan merupakan wadah, di mana hakikat manusia memperkembangkan diri. Antara hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin hubungan, korelasi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, kebudayaan sering dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tempat, waktu, dan kondisi masyarakat, sehingga lahir suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti kebudayaan Islam, kebudayaan Timur, dan kebudayaan Barat. (Ensiklopedi Indonesia: 1705). Kebudayaan lahir dari olah akal-budi, jiwa atau hati nurani manusia. Bentuk kebudayaan tersebut selalu mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang diyakini, yang dirasa, dan diharapkan memberikan kebaikan dalam hidup. Oleh karena itu, kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan tersebut juga disebut peradaban. Kebudayaan atau peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam disebut kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam ajaran Islam, aktivitas kehidupan manusia dalam bentuk olah akal-budi nuraninya harus dibimbing oleh wahyu. Akal budi nurani manusia memiliki keterbatasan dan dipengaruhi oleh pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun masyarakat. Sekalipun aktivitas akal budi nurani manusia dalam bentuk kebudayaan atau peradaban tersebut diyakini atau diharapkan memberikan kebaikan bagi masyarakat yang melahirkan kebudayaan-peradaban tersebut, dalam pandangan masyarakat lain belum tentu dinilai baik. Oleh karena itu, sejak awal manusia dilahirkan, Allah Yang Maha Tahu akan keterbatasan manusia menurunkan wahyu sebagai pembimbing arah olah akal budi nurani manusia tersebut, agar tidak berkembang dan melahirkan kebudayaan-peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan yang dianggap menguntungkan sekelompok masyarakat tertentu tetapi merugikan sekelompok masyarakat lainnya. Wahyu al-Qur’an sebagai wahyu terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW menjadi petunjuk-pembimbing dan menjaga nilai-nilai universalitas kemanusiaan tersebut sekalipun memberikan toleransi perwujudan kebudayaan-peradaban khusus.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam adalah hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang berlandaskan nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islam.
Kebudayaan itu akan terus bekembang, tidak akan pernah berhenti selama masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas dan kreativitas manusia, baik dalam kontek hubungan dengan sesamanya, maupun dengan alam lingkungannya akan selalu terkait dengan kebudayaan orang lain. Di sini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya dan makhluk sosial yang tidak akan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Allah mengutus para rasul dari jenis manusia dan kaumnya sendiri karena yang akan menjadi sasaran dakwahnya adalah ummat manusia. Oleh sebab itu misi utama kerasulan Muhammad saw. adalah untuk memberikan bimbingan pada ummat manusia agar dalam mengembangkan kebudayaannya tidak melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak.” Artinya Muhammad saw. mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum nabi diutus bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkannya terlepas dari nilai-nilai ketauhidan yang bersifat universal. Landasan pengembangan kebudayaan mereka adalah hawa nafsu.
Mengawali tugas kerasulannya, beliau meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam menyebar diluar jazirah Arab, kemudian tersebar keseluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
Menurut M. Natsir, ada enam sumber kekuatan ajaran Islam. Untuk mencapai suatu kebudayaan bersifat lokal menjadi suatu peradaban manusia yang universal yaitu:
 Menghormati akal. Manusia muslim disuruh menggunakan akalnya untuk mengamati dan memikirkan keadaan alam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyatakan betapa pentingnya pengembangan akal bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini proses ijtihad menjadi penting bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
 Kewajiban menuntut ilmu. Setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.
 Larangan taklid. Setiap orang dilarang mengikuti sesuatu perkara yang ia tidak mempunyai pengetahuan tentang itu meskipun datang dari para leluhurnya.
 Mengambil inisiatif. Setiap muslim dikerahkan untuk mengambil inisiatif keduniaan yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat umum sekalipun bagi mereka yang tidak seagama, serta mengadakan barang-barang kebutuhan yang tidak ada sebelumnya.
 Menggunakan hak-hak keduniaan. Kaum muslimin disuruh mencari ridha Allah atas nikmat yang diterimanya di dunia ini dan menggunakan hak-hak itu sesuai dengan aturan agama.
 Aktualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan nyata kaum muslimin, dianjurkan untuk berhubungan dengan dunia luar, berinteraksi dengan bangsa-bangsa untuk saling bertukar ilmu pengetahuan.

B. Perkembangan Kebudayaan Islam
Perkembangan pemikiran Islam mempunyai sejarah panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi pemikiran di kalangan ummat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab sendiri, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya. Sebab masyarakat Arab pra Islam belum mempunyai sistem pengembangan pemikiran secara sistematis.
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja sistem pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum terselenggara karena ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian isyarat Al-Qur’an sudah cukup jelas meletakkan fondasi yang kokoh terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran, sebagaimana terlihat pada ayat yang pertama diturunkan yaitu suatu perintah untuk membaca dengan nama Allah (QS. Al-Alaq/96:1). Dalam kaitan itu dapat dipahami mengapa proses pendidikan Islam berlangsung di rumah yaitu Darul Arqam. Ketika masyarakat Islam telah terbentuk, maka pendidikan Islam dapat diselenggarakan di masjid. Poses pendidikan pada kedua tempat tersebut dilakukan dalam lingkaran besar yang disebut Halaqah.
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa yaitu masa klasik (650 sampai 1250 M), masa pertengahan (1250 sampai 1800 M) dan masa modern (1800 sampai sekarang).
Pada masa klasik lahir para ulama madzhab seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Malik. Sejalan dengan itu lahir pula para filosof muslim seperti Al-Kindi (801 M), seorang filosuf pertama muslim. Diantara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum muslim hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Selain Al-Kindi, pada abad itu lahir pula para filosuf beasar seperti Al-Rasi (865 M), Al-Farabi (870 M). Mereka dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya lahir pula filosof agung Ibnu Miskawaih (930 M). Pemikrannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibnu Sina (1037 M), Ibnu Bajjah (1138 M), Ibnu Taufail (1147 M) dan Ibnu Rusyd (1126 M).
Pada masa pertengahan yaitu tahun 1250-1800 M. Dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa ini merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari ummat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu dan dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
Sebagian pemikir Islam kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Gazali yang pertama menjauhkan filsafat dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah” (kerancuan filsafat). Tulisan Al-Gazali dijawab oleh Ibnu Rusdi dengan tulisan “Tahafutu Tahaful” (kerancuan di atas kerancuan).
Ini merupakan awal kemunduran ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam. Sejalan dengan perdebatan di kalangan para filosof muslim juga terjadi perdebatan di antara para fuqoha (ahli fikih) dengan para ahli teologi (ahli ilmu kalam). Pemikiran yang berkembang saat itu adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan ilmu dan urusan dunia dengan akhirat. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat kepada para penguasa pemerintahan, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak lagi diikiuti oleh ummatnya.

C. Nilai-Nilai Kebudayaan Islam
Bentuk kebudayaan yang sangat penting dan perlu memperoleh perhatian besar dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan masyarakat akademisi, masyarakat intelektual, yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran intelektual muslim adalah :
1. Berorientasi pada Pengabdian dan Kebenaran Ilahi
Tujuan penciptaan manusia berdasarkan firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, hanyalah untuk beribadah, mengabdi kepada Allah. Karena itu seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan ini harus berorientasi pada pengabdian kepada Allah. Untuk menciptakan nilai pengabdian tersebut, manusia harus bertitik tolak pada kebenaran yang ditunjukkan oleh Allah. Dalam QS. Al-Baqarah: 147, Allah berfirman: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janagan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
2. Berpikir Kritis dan Inovatif
Berpikir kritis adalah berpikir secara obyektif dan analitis, sedangkan berpikir inovatif adalah berpikir ke depan untuk menemukan pemikiran-pemikiran abaru. Berpikir kritis dan inovatif inilah yang telah menghantarkan kemajuan intelektual Islam pada masa keemasannya, golden age, dalam berbagai disiplin ilmu.
3. Bekerja Keras
Manusia adalah makhluk terbaik yang dianugerahi potensi besar dalam bentuk akal-budi, dan seluruh aktivitas kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah tersebut harus difungsikan secara optimal. Karena itu dalam QS. Al-Qashash: 77, Allah memerintahkan manusia berusaha meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dan dalam QS. Yusif: 87, Allah melarang berputus asa akan rahmat yang telah Allah anugerahkan, karena putus asa itu adalah sifat orang kafir.
4. Bersikap Terbuka
Sikap terbuka berarti mau menerima masukan dan kebenaran yang datang dari orang lain, siapapun dia, dan apapun posisinya. Karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memperhatikan substansi perkataan orang dan bukan siapa orang yang mengatakannya. Kemajuan akan lebih mudah dicapai dengan sikap terbuka, serta memanfaatkan pemikiran, dan kemajuan yang dicapai orang lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah.
5. Jujur
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran mutlak diperlukan, baik dalam bentuk pengakuan terhadap kebenaran pemikiran orang lain, maupun dalam bentuk pengakuan akan keberadaan diri pribadi. Kejujuran akan membimbing manusia dalam proses penemuan kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara obyektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang merugikan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan, kebohongan (sikap tidak jujur) merupakan pangkal terjadinya dosa.
6. Adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil menunjukkan sikap yang proporsional dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalan yang berkait dengan banyak pihak yang berkepentingan. Sekalipun sikap adil pada umumnya berkaitan dengan proses peradilan, tetapi adil diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu, dalam QS. An-Nahl: 90, Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.
7. Tanggung Jawab
Tanggungjawab berarti kesediaan menanggung segala resiko atau konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi baik atau buruk. Hal itu bergantung pada substansi perbuatannya. Oleh karena itu, dalam QS. al-Baqarah: 286, Allah mengingatkan, bahwa setiap manusia akan mendapat pahala sebagai balasan (dari kebajikan) yang dilakukannya, dan mendapat siksa sebagai balasan (dari kejahatan) yang dilakukannya.
8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori atau mencemari nilai niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud pengabdian dalam ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, ikhlas dalam niat selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, seperti firman Allah dalam QS. al-Bayyinah: 5.

D. Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam
Masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus (shalat), padahal masjid berfungsi lebih luas. Sejak awal berdirinya masjid di zaman nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Nabi Muhammad saw. mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin, membina sikap dasar kaum muslimin terhadap orang yang berbeda agama dan ras, hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan ummat. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas pun bermunculan justru dari masjid. Masjid Al-Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh, masjid ini mampu memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan merupakan program nyata masjid.
Di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda, sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata di bidang pencerahan keberagamaan ummat Islam, apalagi menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan.
Disekitar tahun 70-an muncul kelompok yang sadar untuk mengembangkan fungsi masjid sebagaimana mestinya, terutama dikalangan kaum intelektual muda, termasuk aktivis masjid. Dimulai dengan pesantren kilat pada awal tahun 1978, pengentasan buta huruf Al-Qur’an tahun 1990-an, gerakan ini berhasil mengentaskan buta huruf Al-Qur’an sekitar 30% anak-anak TK sampai SLTP dan 40% siswa SLTA dan mahasiswa.
Fungsi dan peranan masjid dari waktu ke waktu terus meluas, seiring dengan laju pertumbuhan ummat Islam baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif dan peningkatan jumlah intelektual muslim yang sadar dan peduli terhadap peningkatan kualitas ummat Islam. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya perluasan fungsi masjid.
Konsepsi tentang masjid sejak masa awal (zaman Rasulullah) didirikan hingga sekarang tidak akan pernah berubah. Paradigma yang digunakan adalah Al-Qur’an, maka masjid yang didirikan berdasarkan ketakwaan tidak akan pernah berubah dari tujuan dan misinya seperti dijelaskan Allah dalam Q.S At-Taubah/9:108. Berdasarkan paradigma inilah kita akan berfikir tentang konsep tujuan dan perlakuan terhadap masjid itu memiliki kesamaan. Melalui paradigma inilah kita akan mampu mengontrol kesucian masjid dari pemikiran yang dikhotomis.
Dalam syari’at Islam, masjid memiliki dua fungsi utama yaitu; pertama sebagai pusat ibadah ritual dan kedua sebagai pusat ibadah sosial. Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan ummat Islam.

Selasa, 11 Agustus 2009

VIII. MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMMAT

A. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh oleh peradaban maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota Ilahi dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari pada masyarakat komunitas yang masih liar.
Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah saw. yang artinya juga sama dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju), lawan dari masyarakat madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui).
Ada yang menyamakan makna masyarakat madani sama saja dengan Civil Society, tentu saja ada persamaannya, tetapi juga ada perbedaan, keduanya sama jika dilihat dari sudut makna sivis, manusia beradab yang menjunjung tinggi azas persamaan setiap warga walaupun warga itu memiliki perbedaan dalam agama kepercayaan, bahasa dan kebudayaannya. Masyarakat madani zaman rasul dengan Sivil Society dalam zaman modern keduanya berbeda antara lain dari segi pandangan dunianya, seperti diperlihatkan sejarah perkembangannya dari Sivitas Dei (kota Ilahi) ke Sivil Society.
Dunia barat mengalami kegagalan dalam menghadapi pemecahan ketegangan antara pusat keagamaan (gereja) yang sarat dengan perbuatan magis religius, upacara-upacara ritual, takhyul dan lain-lainnya dengan kaisr yang penuh dengan martabat duniawi (kekuasaan) kekuatan dan benda-benda kehidupan sekuler, keduanya dengan Herarchi yang sentralistik (gereja dan kerajaan) dengan arus reformasi di sekitarnya berakhir pada jalan buntu (Teori Dua Pandang) pimpinan gereja dengan masalah kerohaniannya dan kaisar dengan urusan kekuasaan dunianya, kebuntuan ini melahirkan Sivil Society yang membebaskan diri dari kekuatan pengaruh gereja dan tidak merasa tertekan oleh kekuasaan kaisar (Monarki Obsulut). Mereka sebagai warga masyarakat sipil membangun solidaritas umum yang disepakati bersama dalam kehidupan bersama sebagai warga Civis. Jalan buntu itulah melahirkan Sivil Society. Di negeri barat sesudah Revolusi Prancis tahun 1784 yang bertumpu dan bertindak pada sekularisasi (seculerisme) yaitu penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cita kenasyarakatan dan bersandar pada etika Hedonisme yaitu kewajiban yang bersendi pada benda keduniaan semata-mata. Jadi secara jelas menunjukkan bahwa Civil Society di negara barat itu berinduk pada sekularisme dan sekulerisasi segala nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Islam memiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan kondisi masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep ajaran spiritualis (individual) semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena menyandang ajaran pada semua aspek kehidupan manusia baik vertikal maupun horizontal.

B. Karakteristik Masyarakat Madani
Secara umum masyarakat yang beradab berciri; kemanusiaan, saling menghargai sesama manusia, sebagai makhluk Ilahi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik, memiliki berbagai perbedaan, akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang demokratis, pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilindungi oleh sesama warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Masyarakat ideal menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup dengan damai dan tenteram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an kondisi masyarakat seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibatun Warabbun Gafur.” Negara yang baik, yang berada dalam lindungan ampunan-Nya. Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Nabi Muhammad saw. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana masyarakatnya memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan Rasulullah saw. Hidup dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan hidupnya.
Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Karena itu dalam sejarah filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam dikenal istilah Madinah atau polis yang berarti kota yaitu masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani yang menjadi sentral idealisme yang diharapkan oleh masyarakat seperti yang tercantum dalam QS. Saba’/34:15. Masyarakat yang sejahtera, bahagia itulah yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi ummat Islam dimana pun dan yang hidup di abad mana pun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik dan sejahtera, bertaqwa kepada Allah swt.
Piagam Madinah sebagai rujukan pembinaan masyarakat madani, yang merupakan perjanjian antara Rasul beserta ummat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus dan khazraj yang beragama watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas khusus yaitu; berTuhan, damai, tolong menolong, toleran, keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial, berpandangan tinggi dan berakhlak mulia.

C. Peranan Ummat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam kontek masyarakat Indonesia, di mana ummat Islam adalah mayoritas, peranan ummat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh ummat Islam. Peranan ummat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, social-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang kepada ummat Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi ummat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun ummat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika ummat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, psti bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

D. Etos Kerja Islami
Etos kerja adalah totalitas kepribadian diri dan cara mengekspresika, memandang, meyakini, dan memberikan makna tentang sesuatu pekerjaan yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (Toto Tasmara: 20). Etos kerja juga berarti percaya, tekun, dan senang pada pekerjaan yang sedang dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai buruh kasar atau memimpin suatu perusahaan besar (M. Yunan Nasution: 147). Etos kerja mencerminkan nilai kerohanian yang membentuk kepribadian dan terekpresikan melalui sikap dan perilaku produktif. Bagi ummat Islam, sifat etos kerjanya adalah etos kerja Islami, yang dilandasi oleh ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik, karena melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah (QS. Ali-Imran: 110). Nilai kebaikan ummat Islam tersebut dapat terealisasi apabila keimanannya menghasilkan amal yang shalih. Oleh karena itu, Allah akan menilai, siapa yang paling baik amalnya (QS. Hud: 7; QS. Mulk: 2). Islam memotivasi ummatnya untuk berkompetisi dalam kebaikan, memiliki etos kerja yang baik, yang menentukan nilai hidup di dunia dan konsekuensi di akhirat (QS. al-Baqarah: 148). Hubungan etos kerja dengan masalah eskatologi, balasan di akhirat memberikan kestabilan (istiqamah) pada setiap pribadi akan kepastian hasil kebaikan dari amal baik yang dilakukan, yang tidak bergantung pada kerelativan manusia.
Menurut Toto Tasmara, etos kerja muslim memiliki cirri-ciri (1) mengahrgai waktu; (2) memiliki moralitas yang ikhlas; (3) memiliki kejujuran; (4) memiliki komitmen; (5) istiqamah, kuat pendirian; (6) disiplin; (7) konsekuen dan berani menghadapi tantangan; (8) memiliki sikap percaya diri; (9) kreatif; (10) bertanggung jawab; (11) bahagia karena melayani; (12) memiliki harga diri; (13) memiliki jiwa kepemimpinan; (14) berorientasi ke masa depan; (15) hidup hemat dan efisien; (16) meiliki jiwa wiraswasta; (17) memiliki instink berkompetisi; (18) mandiri; (19) berkemauan belajar dan mencari ilmu; (20) memiliki semangat perantauan; (21) memperhatikan kesehatan dan gizi; (22) tangguh dan pantang menyerah; (23) berorientasi pada produktivitas; (24) memperkaya jaringan silaturahmi; dan (25) memiliki semangat perubahan (Toto Tasmara; 73).

E. Filantropi Islam: Zakat dan Wakaf
1. Zakat

Zakat merupakan dasar prinsipiil untuk menegakkan struktur social Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan benar, diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping tu, dengan pengelolaan zakat yang professional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukum zakat fitrah wajib atas setiap orang Islam, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka (Yusuf al-Qardhawi; 162).
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan ummat Islam sendiri, dari golongan ummat yang kaya kepada golongan ummat yang msikin, agar tidak terjadi jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin, serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya, tentu harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolannya. Pengelolaan zakat yang berdasar pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik dan jelas, akan meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23 Setember 1999 Presiden RI, B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Thun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang zakat tersebut, Menteri Agama RI menetapkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaannya, apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh ‘amil zakat dan political will dari pemerintah.

2. Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik beberapa Negara misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh. Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha, yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, naka wakaf sebagai salah satu sarana untuk wewujudkan kesejahtraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi ummat, maka perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan Bangladesh, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan ummat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi nasyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah berkembang, menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf. Sayangnya pemahaman ummat Islam di Indonesia terhadap wakaf selama berabad-abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hanyalah tanah nilik, yaitu diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda bergerak khususnya uang baru dibicarakan oleh ummat Islam di Indonesia sekitar akhir tahun 2001. Alhamdulillah pada tanggal 1 Mei 2002, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut :
a. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, maka penerapan wakaf uang di Indonesia sudah tidak bermasalah lag, apabila dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf uang sudah diatur tersendiri. Yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan wakaf khususnya wakaf uang di Indonesia, karena wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka Undang-undang wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya ummat Islam menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf (mauquf bih) yang diatur dalam Undang-undang Tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamantkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah melkukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

Minggu, 26 Juli 2009

VII. ISLAM DAN PLURALITAS

A. Pluralitas Dalam Ajaran Islam

1. Pengertian

Kata pluralitas secara generik mengandung makna kejamakan atau kemajemukan. Pluralitas merupakan salah satu tema diskursus intelektual yang sangat intens diperbincangkan. Sebagian pandangan menunjukkan; bahwa pluralitas dipahami sebagai faktor yang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, baik dilatarbelakangi oleh pemahaman dan kepentingan keagamaan serta supermasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan inilah yang kemudian secara ekstrim menolak pluralitas-pluralisme dan menitikberatkan pada keseragaman mutlak. Pandangan yang demikian dapat dilihat pada totaliterisme Barat yang diwakili oleh Uni Soviet. Pandangan lainnya adalah, pandangan yang menerima secara mutlak gagasan pluralitas-pluralisme. Pandangan ini menganggap pluralitas sebagai suatu bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikitpun. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan liberalisme Barat. Lalu bagaimana dengan pandangan Islam tentang pluralitas-pluralisme, apakah Islam sejalan dengan pandangan yang pertama, ataukah yang kedua, dan ataukah ia berbeda dengan keduanya dan memiliki pandangan tersendiri?
Diskursus lain yang juga memperoleh perhatian serius oleh para pemikir kekinian, sebagai perkembangan lebih lanjut dari kajian pluralitas-pluralisme- adalah pengkajian tentang multikultural-multikulturalisme. Kajian multikultural ini tampaknya menarik, disebabkan oleh munculnya pemikiran kritis sosial yang mencoba mempertanyakan kembali nilai kemanusiaan dalam setiap praktek hidup keberagamaan. Pertanyaan kritis ini muncul sebagai kritik terhadap fenomena keberagamaan di tengah perubahan sosial ekonomi dan politik, yang kemudian lebih banyak tidak menguntungkan kelompok masyarakat kecil. Ini salah satu bentuk kritik Nietzschian yang kemudian memunculkan tesis kematian Tuhan dan kemudian mendorong munculnya gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin.
Pengkajian terhadap multikultural-multikulturalisme juga lahir dari fakta tentang perbedaan masyarakat yang bersumber dari tradisi, bahasa, pandangan hidup, keberagamaan, etnis, budaya, latar belakang kehidupan. Fenomena yang demikian memunculkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda dan sering kali menjadi pemicu munculnya konflik-konflik sosial yang tajam, baik konflik sosial internal teritoril kesatuan negara bangsa dan internasional.
Konflik sosial-politik yang tajam dan sering kali dibarengi dengan kekerasan ini, diakibatkan oleh sikap arogansi manusia yang cenderung memandang diri lebih baik, lebih benar, lebih berkuasa dan lebih berhak berkembang untuk menguasai bumi dibanding pihak lain. Tegasnya, gejala sosial-politik menjadi dasar pentingnya pengkajian multikultural, untuk kemudian dikembangkan dan dijadikan sebagai jalan untuk menjawab dan memberikan solusi dari konflik-konflik sosial-politik baik dalam skala nasional maupun internasional.

2. Implikasi Tauhid Terhadap Pluralitas Agama
Alquran berbicara tentang fenomena pluralitas agama-agama dan multikultural. Alquran adalah kitab samawi yang diturunkan terakhir dan diwahyukan kepada penutup para Nabi dan rasul yaitu Muhammad saw. Turunnya Alquran berfungsi sebagai mushaddiq (pembenaran) bagi kitab-kitab terdahulu. Dengan demikian, kedatangan Alquran bukan sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya tetapi lebih sebagai pembenaran tentang inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul dan nabi sebelumnya. Di sisi lain, Alquran juga berfungsi sebagai muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi) atas penyimpangan yang terjadi dari penganut kitab-kitab tersebut. Dari sini dapat ditegaskan bahwa esensi dan subtansi ajaran Alquran sama dengan ajaran kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelumnya, seperti Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil dan suhuf-suhuf.
Esensi ajarannya adalah tauhid. Para nabi dan rasul Allah yang diutus kepada ummat manusia, semuanya membawa ajaran tauhid, termasuk inti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. seperti termuat di dalam Alquran. Itulah sebabnya Nabi Muhammad diperintahkan untuk beriman kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah sebelum Alquran, seperti ditegaskan dalam QS. Asyuura (42): 15: “…Katakanlah (Muhammad): Aku beriman kepada semua kitab yang telah diturunkan oleh Allah….”
Di awal kehidupan Nabi Muhammad saw. hingga akhir kehidupannya benar-benar menyakini bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu adalah berasal dari Allah dan yang menyampaikannya adalah para Nabi dan Rasul Allah. Dengan demikian, tidak heran jika Muhammad sebagai nabi terakhir mengakui kenabian dan kerasulan Ibrahim as., Musa as., Isa as., Nuh as., dan para nabi lainnya. Penyikapan yang demikian semakin kuat pada diri Nabi Muhammad setelah tampak bahwa para pengikut kitab-kitab suci terdahulu ada yang beriman kepada Alquran dan kepada kenabiannya, seperti Waraqa bin Naufal yang telah mengetahui akan datangnya seorang nabi yang ciri-cirinya seperti yang ia baca dalam Kitab Injil.
Fenomena Waraqa ini merupakan salah satu bukti bahwa kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang membawa kitab Alquran sudah menjadi harapan dan keinginan sebagian orang yang telah memiliki kitab sebelumnya. Hal ini ditegaskan di dalam QS. Asy-Syu’ara (26): 192-197: “Sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oeh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hati Muhammad agar menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”
Jika ayat di atas dihubungkan dengan kandungan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya dalam surah yang sama, maka dapat dijelaskan bahwa ketika Alquran disampaikan kepada masyarakat Makkah -sebagai kelompok manusia yang pertama bersentuhan dengan Alquran-, maka sebagian mereka menyakini kebenaran Alquran dan kebanyakan mereka menjadi kelompok kontra Alquran. Bahkan sikap kontra mereka sangat cepat datangnya. Fenomena yang demikian itu tidak saja dialami oleh Muhammad saw ketika Alquran disampaikannya, tetapi setiap nabi dan rasul yang diutus Allah menyampaikan risalahnya maka manusia yang menjadi obyek risalah tersebut akan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok yang menerima risalah dan kelompok kontra risalah. Keterangan ini dapat dilihat dalam QS. 26: 69-191.
Kandungan ayat-ayat pada suarh 26 tersebut berisi kisah Nabi Ibrahim, Nabi Nuh as., Nabi Hud as., Nabi Shaleh as., Nabi Nabi Luth as., dan Nabi Syuaib as. dengan kaum mereka masing-masing. Sebagian kaum para nabi tersebut menjadi kelompok pengikut risalah rasul mereka masing-masing dan kebanyakan kaum tersebut menjadi kelompok kontra risalah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap ummat yang disampaikan padanya risalah Tuhan melalui nabi dan rasul yang diutus kepada mereka, maka ummat tersebut akan terpecah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok pengikut risalah dan kelompok kontra risalah. Dalam konteks ini QS.al-Baqarah (2): 213: menjelaskan bahwa:
“Pada awalnya manusia adalah ummat yang satu. Lalu Allah mengutus para Nabi-Nya kepada mereka sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan lewat kitab yang berisi kebenaran. Dengan kitab itu pulalah diputuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan. Namun ummat tersebut berselisih tentang kitab yang diturunkan kepada mereka, hanya karena keingkaran di antara mereka. Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman kepada kebenaran kitab yang diturunkan kepada mereka, berupa jalan lurus dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka.”
Di sisi lain, dapat pula dikatakan bahwa keingkaran mereka terhadap kitab yang diturunkan kepada mereka disebabkan karena kecintaan mereka terhadap dunia. Hal ini dipahami dari perpautan ayat 213 dengan ayat 212 dalam surah yang sama. Di mana ayat 212 menegaskan bahwa kehidupan dunia bagi kelompok sungguh sangat indah dan mereka memandang hina orang-orang beriman …
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa para nabi dan rasul yang diutus berhadap-hadapan dengan pluralitas sosial-budaya dan sosial politik dan tentunya pluralitas agama. Jadi ketika para nabi dan rasul diutus kepada suatu ummat, ummat tersebut tidaklah hampa budaya tetapi padanya hidup dan berkembang pluralitas sosial-budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian dari kelompok ummat tersebut ada yang tetap berusaha berpegang pada ajaran para nabi dan rasulnya dan sebagian lainnya melenceng dari ajaran nabi dan rasulnya. Kelompok pertama inilah yang kemudian senantiasa berharap agar Allah mengutus kembali seorang nabi dan rasul untuk memurnikan ajaran para nabi dan rasul sebelumnya. Ketika Allah pun mengutus nabi dan atau rasul yang baru (dan memang sebelum pengutusannya sering kali telah diinformasikan dalam kitab sebelumnya), maka kelompok inilah yang kemudian beriman dan menyakini rasul tersebut dan kitabnya. Sedang kelompok kedua yakni kelompok kontra risalah, yaitu ketika Allah mengutus nabi dan rasul baru pada mereka, mereka pun bersikap kontra terhadap rasul dan kitab yang baru tersebut.

B. Konsep Ukhuwah dalam Islam

1. Ukhuwah Islamiyah

Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antara dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki satu kondisi atau perasaan yang sama, baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk saling membantu bila pihak lain mengalami kesulitan dan sikap untuk saling membagi kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan kesenangan. Ukhuwah atau persaudaraan berlaku sesama ummat Islam, yang disebut ukhuwah Islamiyah dan berlaku pula pada semua ummat manusia secara universal tanpa membedakan agama, suku dan aspek-aspek kekhususan lainnya, yang disebut ukhuwah Insaniyah.
Persaudaraan sesama muslim, berarti saling menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi penghalang untuk saling membantu atau menolong karena di antara mereka terikat oleh satu keyakinan dan jalan hidup, yaitu Islam. Agama Islam memberikan petunjuk yang jelas untuk menjaga agar persaudaraan sesama muslim itu dapat terjalin dengan kokoh sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat/49:10-12.

2. Ukhuwah Insaniyah
Konsep persaudaraan sesama manusia, ukhuwah insaniyah dilandasi oleh ajaran bahwa semua ummat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun Allah memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup berdasarkan rasionya. Karena itu sejak awal penciptaan, Allah tidak menetapkan manusia sebagai satu ummat, padahal Allah bisa bila mau. Itulah fitrah manusia (QS. Al-Maidah/5:48).
Prinsip kebebasan itu menghalangi pemaksaan suatu agama oleh otoritas manusia manapun, bahkan rasul pun dilarang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus/10:99 dan QS. Al-Baqarah/2:256.
Perbedaan agama yang terjadi di antara ummat manusia merupakan konsekuensi dari kebebasan yang diberikan oleh Allah, maka perbedaan agama itu tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berinteraksi sosial dan saling membantu, sepanjang masih dalam kawasan kemanusiaan.

C. Kebersamaan Ummat Beragama Dalam Kehidupan Sosial

1. Pandangan Agama Islam Terhadap Ummat Non-Islam
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima Islam sebagai agamanya disebut kafir atau nonmuslim. Kata kafir berarti orang yang menolak, yang tidak mau menerima atau menaati aturan Allah yang diwujudkan kepada manusia melalui ajaran Islam. Sikap kufur, penolakan terhadap perintah Allah pertama kali ditunjukkan oleh iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam a.s. (QS. Al-Baqarah/2:34).
Ketika Rasulullah saw. mulai menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat Arab, sebahagian dari mereka ada yang mau menerima dan sebahagiannya menolak. Orang yang menolak ajaran Rasulullah tersebut disebut kafir. Mereka terdiri orang-orang musyrik yang menyembah berhala yang disebut orang Watsani, orang-orang ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani. Diantara orang-orang kafir tersebut ada yang mengganggu, menyakiti dan memusuhi orang Islam dan ada pula hidup rukun bersama orang Islam. Orang kafir yang mengganggu disebut kafir harbi dan orang kafir yang hidup rukun disebut kafir dzimmi, mereka inilah yang mengadakan perjanjian atau menjadi tanggungan orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Dalam konteks negara Islam, mereka wajib membayar jizyah (QS.At-Taubah/9:29).

2. Tanggung Jawab Sosial Ummat Islam
Ummat Islam adala ummat yang terbaik yang diciptakan Allah dalam kehidupan dunia ini (QS. Ali Imran/3:110). Kebaikan ummat Islam bukan sekedar simbolik, karena telah mengikrarkan keyakinan Allah swt. sebagai Tuhannya dan Muhammad saw sebagai Rasulullah, tetapi karena identifikasi sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk menunjukkan komitmennya dalam beribadah kepada Allah. Dalam Al-Qur’an kedua komitmen itu disebut “hablun minallah wa hablun minannaas “.
Bentuk tanggung jawab sosial ummat Islam meliputi berbagai aspek kehidupan, diantaranya adalah:
 Menjalin silaturahmi dengan tetangga.
 Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang wajib maupun yang sunnah dalam bentuk sedekah (QS. Ibrahim/14:7).
 Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah bila ada anggota masyarakat yang meninggal dengan mengantarkan jenazahnya sampai di kubur.
 Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota masyarakat yang memerlukan bantuan.
 Penyusunan sistem sosial yang efektif dan efisien untuk membangun masyarakat, baik mental spiritual maupun fisik material.

3. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar artinya memerintahkan orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar akan efektif apabila orang yang melakukannya juga memberi contoh. Karena itu diperlukan kesiapan secara sistematik dan melibatkan kelompok orang dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara terorganisasi (QS. Ali-Imran/3:104).
Di samping sistem dan sarana pendukung, amar ma’ruf dan nahi munkar juga memerlukan kebijakan dalam bertindak. Karena itu Rasulullah memberikan tiga tingkatan, yaitu: menggunakan tangan atau kekuasaan apabila mampu, menggunakan lisan dan dalam hati apabila langkah pertama dan kedua tidak memungkinkan. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem diantaranya adalah mendirikan masjid, menyelenggarakan pengajian, mendirikan lembaga pendidikan Islam, mendirikan pesantren dan lain-lain.
Sebagai agama yang universal dan komprehensif, Islam mengandung ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan ummat manusia. Islam tidak hanya mengajarkan tentang akidah dan ibadah semata, tetapi Islam juga mengandung ajaran di bidang ipteks dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

VI. IPTEKS DALAM ISLAM

A. Pengertian IPTEKS Dalam Islam dan Sumbernya
1. Pengertian IPTEKS
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman kepada Allah swt. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak.
2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori: pengetahuan (knowledge/kenneis), ilmu pengetahuan (watenschap/science) dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya nisbi.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak (absolut) dan wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4).
Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para filosuf, ilmuwan dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi.
Sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan sedangkan dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam.
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.
Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.

2. Sumber IPTEKS
Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia .

B. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal
Menurut Islam, ilmu pada hakekatnya tidak bersifat dikotomik seperti : ilmu agama-ilmu umum, ulama-intelektual, madrasah-sekolah, santri-pelajar dan sebagainya. Menurut Al-Qur’an, dua ayat Allah dihadapkan kepada manusia:
 Ayat al-kauniyah (alam semesta dan manusia: individu, komunal dan temporalnya)
 Ayat al-qauliyah (Al-Qur’an dan sunnah rasul)
Interpretasi manusia terhadap fenomena kauniyah melahirkan ilmu pengetahuan: biologi, fisika, kimia, sosiologi, antropologi, komunikasi, ilmu politik, sejarah dan lain-lain. Interpretasi manusia terhadap fenomena qauliyah melahirkan pemahaman agama (actual). Kebenaran hakiki dan sumber ilmu ialah pada Allah swt. Ilmu harus difungsikan sesuai dengan petunjuk Allah swt. (QS. Fushshilat/41:53 dan QS. Ali-Imran/3:164).
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul Islam. Didalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmu dan amal shaleh/ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an S.Ibrahim/14:24-25
Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni.
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan ipteks yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi ummat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah s.w.t, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya (QS. Al-Mujadalah/58:11).

C. Tanggung Jawab Ilmuwan Terhadap Alam dan Lingkungan
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan sebagai khalifah Allah di bumi. Esensi dari abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam konteks 'abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan sang pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya.
Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik (QS. Asy-Syams/91:8). Dengan kedua kecenderungan tersebut, Allah memberikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah.
Fungsi yang kedua sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali sumber-sumber daya serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar kemanfaatan untuk kehidupan ummat manusia dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Tanpa menguasai IPTEKS, fungsi hidup manusia sebagai khalifah akan menjadi kurang dan kehidupan manusia akan tetap terbelakang. Allah menciptakan alam, karena Allah menciptakan manusia. Seandainya Allah tidak menciptakan manusia, maka Allah tidak perlu menciptakan alam. Oleh karena itu, manusia mendapat amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan keseimbangannya untuk kepentingan ummat manusia. Kalau terjadi kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri. Mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai khalifah (QS. Ar-Rum/30:41).

V. ETIKA, MORAL DAN AKHLAK

A. Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
1. Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti. Perkataan budi berasal dari bahasa Sansekerta budh yang berarti kesadaran. Kata pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan.
 Menurut Imam Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘Ulumuddin” Juz III hal. 52.
Khuluq (perangai) ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pertimbangan pikiran.
 Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq: Khuluq ialah membiasakan kehendak.

2. Moral dan Etika
Kata moral berasal dari bahasa latin mos, jamaknya adalah mores yang berarti kebiasaan. Kata etika berasal dari bahasa Yunani etos berarti kebiasaan, perasaan batin atau kecenderungan hati di mana seseorang melakukan perbuatan (Filsafat Moral, 1989:9). Jadi moral hanya dikaitkan pada kelakuan lahir manusia, sedang etika tidak hanya pada kelakuan lahir akan tetapi lebih mendalam sampai kepada motivasi-motivasi kelakuan lahir.
Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, maka yang dijadikan standar baik dan buruk adalah akal manusia. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk yang diterima oleh utusan atau masyarakat, maka yang dijadikan standar baik dan buruk adalah adat istiadat.
Dengan demikian etika adalah penyelidikan filsafat tentang bidang yang mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tentang yang baik dan buruk. Bidang itulah yang disebut moral (Etika Umum, 1985:13).
Pengertian etika dan moral menurut istilah.
 Menurut Austan Fagothey dalam bukunya “Right and Reason, Ethics in Theory and Practice.” Ethics is the practical normative science of the rightness and wrongness of human conduct as known by natural reason. Etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang praktis mengenai kelakuan benar dan tidak benar manusia yang dimengerti oleh akal murni.

 Menurut Ensiklopedi Umum:
Morality is right living virtue, conformity to generally accepted standard of conduct. Moral adalah kehidupan yang benar dan baik, pengesahan dan penerimaan secara umum tentang ukuran dasar tingkah laku.
Dari ketiga istilah di atas (akhlak, moral dan etika) memiliki persamaan yaitu membicarakan persoalan baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Perbedaannya antara lain:
• Sumber akhlak adalah Al-Qur’an dan sunnah rasul, sedangkan moral dan etika adalah adat istiadat dan filsafat.
• Akhlak bersifat absolut, sedangkan moral dan etika bersifat relatif.

B. Karakteristik Akhlak
 Akhlak adalah salah satu kerangka dasar Islam yang termuat dalam kitab suci Al-Qur’an.
 Akhlak bersifat universal dan absolut. Bahwa nilai-nilai baik dan buruk daripada suatu perbuatan yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah berlaku bagi seluruh manusia. Kapan dan dimanapun serta kebenarannya bersifat absolut.
 Akhlak menuntut bagi pelakunya untuk senantiasa ikhlas melaksanakan hak-hak yang harus diberikan kepada yang berhak. Melakukan kewajiban terhadap sesama manusia yang menjadi hak manusia lainnya, melakukan kewajiban terhadap alam dan lingkungannya.
 Dalam ilmu etika “Kebaikan Tertinggi” yang istilah latinnya disebut “Summum Bonum” (Al-Khair Kully) merupakan tujuan akhir dari semua manusia. Kebaikan tertinggi itu adalah semuanya ingin baik dan bahagia (QS. Al-Baqarah/2:148). Kebaikan yang berhubungan dengan tujuan ini dapat dibedakan dengan kebaikan sebagai tujuan akhir (Summum Bonum) dan kebaikan sebagai cara atau sarana untuk sampai kepada tujuan akhir tersebut.
Di dalam akhlak, antara baik sebagai tujuan sementara harus sejalan dengan baik sebagai tujuan akhir. Artinya cara satu garis mencapai tujuan-tujuan itu berada dalam satu garis lurus yaitu berdasarkan satu norma. Di samping baik juga harus benar.

C. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah dengan cara menyucikan hati (tashfiat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya biasa dekat dengan Tuhan melainkan dapat juga melihat Tuhan (al-ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci. Menurut Zun Nun al-Misri, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan, yaitu :
1. Pengetahuan awam : Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2. Pengetahuan ulama : Tuhan satu menurut logika akal.
3. Pengetahuan kaum sufi : Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
Pengetahuan yang disebut pertama dan kedua menurut Harun Nasution, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya masih disebut ilmu. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan (ma’rifah). Telah dijelaskan bahwa akhlak adalah gambaran hati (al-qalb) yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan. Jika hatinya bersih dan suci maka yang akan keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (akhlak al-mahmudah) dan sebaliknya jika hatinya kotor dengan dosa-dosa dan sifat-sifat yang buruk maka yang akan muncul dalam perilakunya adalah akhlak yang buruk (akhlak al-mazmumah).
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara mensucikan hati (tashfiat al-qalb), agar setelah hatinya suci yang muncul dari perilakunya adalah akhlak al-karimah. Perbaikan akhlak menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari penyucian hati. Persoalan yang mengemuka kemudian adalah bagaimana cara mensucikan hati dalam tasawuf? Metode tasfiat al-qalb, dalam pendapat para sufi adalah dengan menjauhi larangan Tuhan (ijtinab al-manhiyyah), melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan (adaa al-wajibat), melakukan hal-hal yang disunatkan (al-naafilaat), dan al-riyadhah. Riyadhah artinya latihan spiritual sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw., sebab yang mengotori hati manusia adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat akibat lengah dari bujukan nafsu dan godaan syaitan. Kata para sufi, keadaan hati itu ada tiga macam. Pertama, hati yang mati yaitu hatinya orang kafir. Kedua, hati yang hidup yaitu hatinya orang yang beriman. Ketiga, hati yang kadang-kadang hidup dan kadang-kadang mati, itulah hatinya orang fasik dan munafik. Yang harus diperjuangkan adalah bagaimana agar hati kita istiqamah dalam kehidupan ini.

D. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan
Kedudukan akhlak dalam agama Islam adalah identik dengan pelaksanaan agama Islam itu sendiri dalam segala bidang kehidupan. Maka pelaksanaan akhlak yang mulia adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala larangan-larangan dalam agama, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan makhluknya, dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya dengan sebaik-baiknya, seakan-akan melihat Allah dan apabila tidak bisa melihat Allah maka harus yakin bahwa Allah selalu melihatnya sehingga perbuatan itu benar-benar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Akhlak yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan adalah sebagai berikut:

1. Akhlak kepada Allah swt. meliputi:
a. Mentauhidkan Allah swt. (QS. Al-Ikhlas/112:1-4)
b. Beribadah kepada Allah swt. (QS. Adz-Dzaariyat/51:56)
c. Berdzikir kepada Allah swt. (QS. Ar- Ra’d/13:28)
d. Tawakkal kepada Allah swt. (QS. Hud/111:123)

2. Akhlak terhadap manusia:
a. Akhlak terhadap diri sendiri, meliputi:
 Sabar (QS. Al-Baqarah/2:153)
 Syukur (QS. An-Nahl/16:14)
 Tawaddu (QS. Luqman/31:18
 Iffah, yaitu mensucikan diri dari perbuatan terlarang (QS. Al-Isra/17:26)
 Amanah (QS. An-Nisa/14:58)
 yajaah (QS. Al-Anfaal/18:15-16)
 Qanaah (QS. Al-Isra/17:26)
b. Akhlak terhadap kedua orang tua (QS. Al-Isra/17:23-24)
c. Akhlak terhadap keluarga, yaitu mengembangkan kasih sayang, keadilan dan perhatian. (QS. An-Nahl/16:90 dan QS. At-Tahrim/66:6)
d. Akhlak terhadap tetangga (QS. An-Nisa/4:36)

3. Akhlak terhadap lingkungan
Berakhlak terhadap lingkungan hidup adalah di mana manusia menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Allah menyediakan kekayaan alam yang melimpah hendaknya disikapi dengan cara mengambil dan memberi dari dan kepada alam serta tidak dibenarkan segala bentuk perbuatan yang merusak alam. Maka alam yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang berlipat ganda, sebaliknya alam yang dibiarkan merana dan diambil manfaatnya saja justru mendatangkan malapetaka bagi manusia. (QS. Al-Qashash/28:77, QS. ar-Rum/30:41, dan QS. Hud/11:61)

Sabtu, 25 Juli 2009

IV. KONSEP HUKUM DAN HAM

A. Pengertian Hukum Islam, Ruang Lingkup, dan Tujuannya

1. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya melalui sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadits. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, dimana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud adalah syari’at Islam, fikih Islam dan hukum Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari’at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fikih Islam diterjemahkan dengan Islamic Jusrisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, sedang untuk fikih Islam dipergunakan istilah hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktek sering kali kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Syari’at merupakan landasan fikih, dan fikih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu, seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fikih Islam. Pada pokoknya perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
a. Syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’ah yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman itu.
b. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam Islam. Sedangkan fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
c. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, karena itu berlaku abadi; fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
d. Syari’at hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu, seperti misalnya terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab.
e. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragamannya (H.M. Rasjidi, 1958:403; Asaf A.A. Fyzee, 1955:17).
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah. Ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perombakan dan perubahan secara asasi mengenai hukum, susunan dan tata cara ibadah itu sendiri. Yang mungkin berubah hanyalah pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada yang pokok-pokok saja. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. (Mohammad Daud Ali/1999:49).

2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam tidak membedakan hukum perdata dengan hukum publik seperti halnya hukum barat. Hal ini disebabkan karena menurut hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Dalam hukum Islam yang dibutuhkan hanya bagian-bagiannya saja.
Menurut H. M. Rasyidi bagian hukum Islam adalah :
- munaakahat
- al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah),
- wirasah
- siayar
- muamalat dalam arti khusus
- mukhassamat
- jinayat atau ukubat
(H. M. Rasyidi/1980:25-26)

Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat yang membedakan antara hukum publik dan hukum perdata, maka yang termasuk dalam hukum perdata Islam adalah:
1. Munaakahat, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serat akibat-akibatnya.
2. Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan ini juga disebut fara’id.
3. Muamalat dalam arti khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah :
1. Jinayat, memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud (perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad) maupun jarimah ta’sir (perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya).
2. al-ahkam as-sulthaniyah, yakni hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
3. Siyar, yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
4. Mukhassamat, mengatur peradilan, kehakiman dan hukum acara.
(Mohammad Daud Ali/1999:51-52)
Dari hal-hal yang sudah dikemukakan jelas bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fukaha (para yuris Islam) di masa lampau seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, hukum bunga bank, euthanasia dan lain sebagainya serta berbagai aspek kehidupan lainnya dapat merupakan hukum Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga yaitu ar-ra’yu dengan menggunakan ijtihad.
Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakuakn secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan ummat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslimin dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini oleh Pendidikan Agama Islam yang melaksanakan hukum Islam yang setelah tahun enam puluhan diwajibkan di sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), maraknya kehidupan beragama Islam di Indonesia setelah tahun 1966 terutama dan perkembangan global kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pula oleh sikap pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah, misalnya dalam program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia seperti Hazairan dan Hasbi As-Shiddiqie, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fikih Islam dengan pembentukan fikih Indonesia (1962). Syarifuddin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam. Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hukum Islam dalam pinjam-meminjam, jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.
Kontribusi ummat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, misalnya
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
 UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama;
 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam;
 UU Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; dan
 UU Republik Indonesia Tahun 1999 tentang penyelenggaraan zakat.

3. Tujuan Hukum Islam
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka serta mengarahkan kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq Al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam yang kemudian disepakati oleh para ahli hukum Islam, yaitu :

a. Memelihara agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk lain dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentu hati nurani manusia. Agama Islam harus terpeliahara dari ancaman orang-orang yang akan merusak akidah, syari’ah dan akhlak atau mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan paham atau aliran yang batil. Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah/2:256).
b. Memelihara jiwa
Menurut hukum Islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
c. Memelihara akal
Menurut hukum Islam seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akalnya manusia dapat memahami wahyu Allah baik yang terdapat dalam kitab suci maupun wahyu Allah yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah. Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu, pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam melarang orang meminum-minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamar dan memberi hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal (QS. al-Maidah/5:90).
d. Memelihara keturunan
Dalam hukum Islam, memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Maka dalam hukum Islam, untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan Islam yang ada dalam al-Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan. Dalam al-Qur’an hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan disebutkan secara tegas dan rinci seperti larangan-larangan perkawinan. Hal ini dijelaskan dalam QS. an-Nisa’/4:23.
e. Memelihara harta
Menurut hukum Islam harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya, untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di bumi (makhluk yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal artinya sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena pemilikan atas suatu benda hanya ada pada Allah, namun karena diperlukan adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik seseorang atas suatu benda diakui dengan pengertian bahwa hak milik itu harus diperoleh secara halal dan berfungsi sosial.
(Anwar Haryono/1968:140).
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang bersifat primer, sekunder maupun tersier (Juhaya S. Praja/1988:196). Oleh karena itu, apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.

B. Hak Asasi Manusia Menurut Islam
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandangan Islam dan Barat. Hak asasi manusia menurut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia menurut pandangan Barat semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan demikian manusia sangat sipentingkan. Dalam hubungan ini, A.K Brohi menyatakan: “Berbeda dengan pendekatan Barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris (Altaf Gauhar, 1983:198)
Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, maka di dalam Islam melalui firman-Nya, Allahlah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Di sinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola pemikran Barat dengan hak-hak asasi menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu. (Mohammad Daud Ali, 1995: 304).
Dari uraian tersebut di atas, sepintas lalu nampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep Islam seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hukum-Nya. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah (Altaf Gauhar, 1982:204). Oleh karena itu, hak asasi manusia adalah hak-hak itu dilandasi kewajiban azasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.
Kewajiban yang diperintahkan kepada kepada manusia dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu huquuqullah dan huquuqul ‘Ibad. Huquuqullah (hak-hak Allah) adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah swt. yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huquuqul ‘ibad (hak-hak manusia) adalah merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, tetapi hak-hak Allah adalah bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya (Syaukat Husain, 1996:54).

C. Sumber Hukum Islam
Menurut al-Qur’an surat an-Nisa’/4:59, setiap muslim wajib menaati kemauan atau kehendak Allah, rasul dan ulil amri (penguasa). Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut kini tertulis dalam al-Qur’an, kehendak Rasulullah terhimpun dalam kitab-kitab hadits, kehendak penguasa termaktub dalam kitab-kitab fikih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi Muhammad memuji dengan menanyakan sumber hukum yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’az bahwa dia akan menggunakan al-Qur’an.
Jawaban itu kemudian disusul oleh nabi Muhammad dengan pertanyaan berikutnya: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam al-Qur’an bagaimana?” Mu’az menjawab: Saya akan mencarinya dalam sunnah nabi Muhammad.” Kemudian nabi bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam sunnah nabi Muhammad, bagaimana?” Kemudian Mu’az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu.” Nabi sangat senang atas jawaban Mu’az itu dan berkata: “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya.” (H.M. Rasyidi/1980:456)
Dari hadits yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan bahwa hukum Islam ada tiga, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini dalam keputusan hukum Islam diistilahkan dengan al-ra’yu yakni pendapat seseorang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia dalam segala kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan al-ra’yu merupakan sumber ketiga atau sumber pengembangan.

1. Al-Qur’an
Sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Wahyu Allah itu diturunkan dalam bahasa Arab dan secara autentik terhimpun dalam mushap al-Qur’an.
Kata al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan atau yang dibaca. Dalam ini terkandung makna bahwa wahyu Allah yang diturunkan secara lisan ini membuka kemungkinan untuk ditulis dan dikumpulkan sehingga menjadi kitab yang dapat dibaca manusia. Al-Qur’an adalah kitab suci yang demikian masyhur telah dikemukakan berbagai Ulama Tafsir, diantaranya :
1. Dr. Dawud Al-Aththar (1979), menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafadz (lisan) maka serta gaya bahasa (usulan)-nya yang termaktub dalam mushaf yang dinukil darinya secara mutawatir.
2. Tim penerjemah/penafsir al-Qur’an :
“Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.”
(Al-Qur’an dan terjemahnya; hal.15, th. 1971)
Al-Qur’an sebagai sumber aqidah, norma dan nilai, mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
1) Pokok-pokok keyakinan atau iman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari kiamat. Dari pokok-pokok yang terkandung dalam al-Qur’an ini lahirlah ilmu tauhid Theology Islam).
2) Pokok-pokok peraturan hukum, yaitu garis-garis besar aturan tentang hubungan dengan Allah, antara manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan syari’at, hukum dan ilmu fikhi.
3) Pokok-pokok dan aturan tingkah laku atau nilai-nilai dalam etika tingkah laku.
4) Petunjuk dasar tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan eksistensi dan kebesaran Tuhan sebagai pencipta. Petunjuk dasar ini merupakan isyarat-isyarat ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan.
5) Kisah-kisah para nabi dan ummat terdahulu.
6) Informasi tentang alam ghaib seperti adanya jin, kiamat, surga dan neraka.
Secara umum al-Qur’an membawa dua fungsi utama yaitu sebagai mukjizat dan pedoman dasar ajaran Islam. Mukjizat menurut bahasa berarti melemahkan, sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia mukjizat artinya kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Al-Qur’an sebagai mukjizat menjadi bukti kebenaran Muhammad selaku utusan Allah yang membawa misi universal, risalah akhir dan syari’ah yang sempurna bagi manusia. Untuk itu Allah menurunkan dengan bahasa kandungan makna, hukum dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya unsur-unsur mukjizat menjadi dalil atau argumentasi yang mampu melemahkan segala argumen dan mematahkan segala dalil yang dibuat manusia untuk mengingkari kebenaran Rasulullah saw. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah/2:23 yang artinya :
“ Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
Tantangan tersebut berlaku sejak diturunkannya dahulu, sekarang hingga masa yang akan datang. Allah sendiri memberikan garansi bahwa siapapun bahkan sekiranya manusia dan jin berserikat membuat al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan mampu membuatnya.(QS. al-Isra’/17:78).
Kemukjizatan al-Qur’an meliputi beberapa aspek :
a. Bahasa al-Qur’an
Keistimewaan bahasa al-Qur’an terletak pada gaya pengungkapannya antara lain kelembutan dalam jalinan huruf dan kata dengan lainnya. Susunan huruf-huruf kata-kata al-Qur’an terajut secara teratur sehingga menjelma menjadi ayat-ayat yang indah untuk dibaca dan diucapkan. Keindahan bahasa al-Qur’an ini menjadikannya mukjizat sehingga apabila ada kata-kata manusia yang disisipkan kedalamnya, maka akan rusaklah keindahannya. Karena itu upaya-upaya untuk memalsukan ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah berhasil. Keistimewaan lainnya dari bahasa adalah adanya keserasian bahasa al-Qur’an dengan akal dan perasaan manusia. Al-Qur’an menggabungkan kebenaran dan keindahan sehingga menyentuh akal dan hati manusia sekaligus. (QS. Fush Shilat/41:39).
Selain itu pengubahan kata yang dinamis menjadi bukti lain dari keistimewaan bahasa al-Qur’an. Misalnya gaya al-Qur’an dalam menyajikan perintah dan larangan. Firman Allah: (QS. an-Nisa/4:58, QS. al-Baqarah/2:183, QS. ali-Imran/3:97, QS. al-A’raaf/7:33, QS. al-Mumtahanah/60:89).
b. Sejarah
Kedudukan pesan, proses, dan ketabahan para Rasul Allah mulai dari Adam hingga Isa serta kondisi ummat yang dihadapi mereka, yang tidak dapat ditemukan ilmu sejarah, dikisahkan oleh al-Qur’an. Selain kisah para Rasul Allah, al-Qur’an juga menceritakan kisah-kisah beberapa kaum dan perorangan yang menonjol pada masanya guna menjadi pelajaran bagi kaum sesudahnya. Sejarah kuno tentang peradaban manusia itu tidak mungkin datang kecuali dari Tuhan semesta alam. Itulah sejarah tua yang membuktikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
c. Isyarat tentang ilmu pengetahuan
Al-Qur’an bercerita mengenai hukum-hukum dalam ala mini (sunnatullah) diterangkan berbagai persoalan biologi, farmasi, astronomi dan geografis. Misalnya tentang kejadian alam, QS. al-Anbiya’/21:30. Fungsi matahari sebagai pelita dan bulan cahaya, QS. an-Nur/71:15-16. Bintang yang menembus, QS. ath-Thariq/86:1-3. Fungsi gunung sebagai pasak bagi keseimbangan bumi, QS. an-Naba’/78:6-7. Fungsi sperma dalam kaitan kemungkinan jenis kelamin, QS. an-Najm/53:45-46.
Segala sesuatu di alam ini merupakan refleksi dan manifestasi dari adanya Allah dengan segala sifat kesempurnannya. Karena itu, manusia tidak akan habis-habisnya mengagumi dan mengambil pelajaran dan ibarat yang bermanfaat daripadanya (QS. al-Mulk:3-4 dan QS. ar-Rum:22). Isyarat demi isyarat yang ditunjukkan al-Qur’an mengenai sains telah terbukti shahih, mendapat konfirmasi peneliti ilmu pengetahuan modern.
d. Konsistensi ajaran selama proses penurunan yang panjang al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama kurun waktu 23 tahun. Rentang waktu itu bukanlah waktu yang pendek. Ini menjadi bukti tersendiri akan kebenaran Muhammad selaku Rasulullah. Sekiranya al-Qur’an merupakan pokok pikiran Nabi, maka norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an pastilah saling bertentangan. Demikianlah konsistensi doktrin al-Qur’an selama proses penurunannya menjadi dalil yang meneguhkan keberadaan Muhammad selaku Rasulullah dan kebenaran risalah yang dibawahnya. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam QS. an-Nisa’/4:82.
e. Nabi Muhammad saw. yang Ummi.
Muhammad saw. adalah seorang dari umumnya masyarakat di kala itu yang ummi, yaitu tidak pandai membaca dan menulis. Tetapi beliau dikenal oleh masyarakat luas, lantaran pribadinya yang mulia sehingga menjadi daya tarik yang amat luar biasa. Beliau amat populer karena kejujurannya, dan pada posisi lain juga populer dari segi keummiannya. Amat menakjubkan karena kemukjizatan beliau menjadi personifikasi al-Qur’an (QS. al-Ankabut/29:48).

2. As-Sunnah
Sunnah adalah sumber Islam yang kedua, dipakai sebagai dalil hukum. Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan sunnah, maksudnya adalah dasar ketetapan hukum tersebut ialah keterangan dari Nabi Muhammad saw., berupa ucapan (sunnah qaulyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan keizinannya (sunnah taqririyah).
Sunnah sebagai sumber Islam dan dalil hukum sesudah al-Qur’an, ditetapkan sendiri oleh al-Qur’an (QS. an-Nisa’/4:59, QS. al-Hasyr/59:7). Nabi Muhammad sebagai rasul diberi tugas untuk membacakan dan mengajarkan wahyu kepada manusia serta memberi contoh penerapannya. Posisi as-Sunnah dalam Syariat Islam, dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, as-Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya, al-Qur’an bersifat qath’il wurud, sementara As-Sunnah bersifat zhanni al-wurud.
Sunnah terbagi dua, yaitu Sunnah Tasyri’ dan Ghairu Tasyri’. Semua informasi yang menyangkut Rasulullah itu, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dikelompokkan ke dalam beberapa bagian :
 Bersifat al-hajah al-basyariyah (kebutuhan yang bersifat kemanusiaan) seperti makan dan minum.
 Mencerminkan tradisi pribadi dan masyarakat, seperti urusan pertanian dan pengobatan.
 Pengaturan urusan tertentu seperti bertempur dan berperang.

Tiga persoalan di atas bukan tasyri’ (ghairu tasyri’) dan tidak juga menjadi sumber tasyri’. Karena itu, perilaku nabi dan kebijakan beliau dalam hal-hal di atas tidak termasuk kategori sunnah yang mempunyai fungsi hukum dan tidak mengikat kaum muslimin secara umum.
 Bersifat Tasyri’, membentuk hukum. Ketentuan yang bersifat tasyri’ meliputi tiga hal, yaitu :
1. Merupakan pengejawantahan dari misi kerasulan, seperti penjabaran al-Qur’an yang, meliputi lafadz mujmah (yang perlu perincian), pengkhususan pada lafadz’am (umum), pengikat lafadz mutlak (yang bermakna lepas), dan penjelasan aspek ibadah yang meliputi perkara-perkara yang halal dan haram, aqidah dan akhlak. Jenis ini merupakan tasyri’ yang universal.
2. Aturan yang berkaitan dengan Imamah (kepemimpinan) dan tadbir (pengurusan) yang bersifat umum untuk kepentingan jamaah, seperti pengutusan pasukan perang, penetapan arah penggunaan distribusi harta dan baitul-mal, dan ganimah (rampasan perang), serta pembuatan akad perdamaian. Ini termasuk tasyri’ yang bersifat khusus.
3. Keputusan-keputusan rasul dalam kedudukan beliau sebagai hakim atas kasus yang terjadi pada saat itu. Jenis inipun termasuk tasyri’ yang tidak umum.
Kedudukan as-Sunnah terhadap al-Qur’an pada garis besarnya terbagi tiga :
a. As-Sunnah sebagai penguat al-Qur’an, yaitu sunnah berfungsi sebagai penganut pesan-pesan atau peraturan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an, misalnya al-Qur’an menyebutkan suatu kewajiban dan larangan, lalu rasul dalam Sunnahnya menguatkan kewajiban dan larangan tersebut. Dalam menguatkan pesan-pesan al-Qur’an, as-Sunnah berperan antara lain :
1. Menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan hukum wajib.
2. Menerangkan posisi kewajiban atau larangan dalam syari’at.
3. Menjalaskan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
b. As-Sunnah sebagai penjelasan al-Qur’an, yaitu as-Sunnah memberikan penjelasan terhadap maksud ayat al-Qur’an antara lain :
1. Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:238, as-Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud shalat wusta adalah shalat Ashar.
2. Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (taqyid al-mutlaqa) dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya : QS. al-Maidah/5:38. Pengertian tahan (yad) bersifat lepas (mutlak). Untuk itu as-Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tangan itu adalah pergelangan tangan.
3. Mengkhususkan ketetapan-ketetapan al-Qur’an secara umum (takhsish al’am), misalnya : QS. al-Baqarah /2:275. Jual beli dalam ayat di atas bersifat umum kemudian As-Sunnah mengkhususkan :

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : “Rasulullah saw melarang jual beli dengan lempar batu dan jual beli yang tidak tentu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
4. Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung dalam nas-nas al-Qur’an. QS. ali-Imran/3:97.
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kali kewajiban haji dikerjakan.
“Kewajiban haji itu hanya sekali. Barang siapa yang menambah maka tambahan itu termasuk satu kewajiban.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dari Ibnu Abbas)
5. Menjelaskan mekanisme dari hukum-hukum yang ditetapkan al-Qur’an. Misalnya tentang tata cara shalat, haji dan puasa yang dijelaskan rasul tentang pelakasanaanya.
c. As-Sunnah sebagai pembuat hukum, yaitu sunnah menetapkan hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an menyebutkan beberapa macam makanan yang haram. (QS. al-Maidah/5:3). Kemudian as-Sunnah datang dengan ketetapan yang baru, menambah jumlah barang yang dilarang dimakan sebagai berikut :
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : ”Rasulullah melarang (memakan) setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkaki menyambar.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).

3. Ijtihad
Ijtihad adalah aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Realitas ijtihad ini menjadikannya sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali fiqh-fiqh prosuk Ijtihad lama. Yusuf Qardawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi, serta bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Ijma’ ulama (consensus), mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh memasuki dimensi ibadah mahdhah seperti shalat.
Dasar Ijtihad adalah al-Qur’an, dimana manusia diperintahkan menggunakan akal, pikiran dan pancaindera. Sebagian ulama menunjuk pada QS. al-Maidah/5:48 : “Untuk tiap orang dari kaum, Kami telah ciptakan suatu syari’at dan satu jalan terbuka.” Jalan terbuka (minhajan) dipahami sebagai jalan terbuka bagi intelektual muslim.
Metode ijtihad yang dinilai valid antara lain :
a. Qiyas (reasoning by analogi), yaitu menerapkan hukum perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Misalnya al-Qur’an melarang jual beli ketika Jum’at (QS. al-Jumu’ah/62:9) dan hukum perbuatan selain dagang juga terlarang, karena sama-sama mengganggu shalat Jum’at.
b. Masalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tinjauan kegunaan sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaannya dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan konsiderasi hukum-hukum universal dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau menggunakan dalil-dalil umum dari kedua sumber tersebut, sedangkan masalihul mursalan menitik beratkan kepada pemanfaatan perbuatan dan kaitannya dengan tujuan universal syari’at Islam.

D. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan fungsi utamanya saja, yaitu: (a) fungsi iabadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT; (b) fungsi amar ma’ruf nahi munkar, (c) fungsi zawajir; (d) fungsi tanzim wa islah al-ummah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera (Ibrahim Hosen, 1996:90).

E. Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi ummat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, misalnya :
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
 UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama;
 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam;
 UU Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; dan
 UU Republik Indonesia Tahun 1999 tentang penyelenggaraan zakat.

Namun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus melalui proses, yaitu proses cultural dan dakwah. Apabila hukum Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dalam segi pengembangannya. Dalam ajaran islam ditetapkan bahwa ummat Islam mempunyai kewajiban untuk menaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.